Sejarah kekuasaan di Suriah pada paruh kedua abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dari apa yang kerap disebut para peneliti sebagai “kudeta merangkak”, yakni proses perebutan kekuasaan bertahap yang berlangsung senyap namun sistematis. Proses ini melibatkan elite minoritas Alawiyah yang memanfaatkan institusi militer dan partai untuk menguasai negara.
Dalam berbagai kesaksian dan kajian, termasuk yang diangkat dalam sebuah video dokumenter berbahasa Arab, dijelaskan bahwa fondasi kudeta merangkak tersebut diletakkan jauh sebelum Hafez al-Assad menjadi presiden. Strateginya bukan berupa satu kudeta terbuka, melainkan serangkaian langkah terencana yang menyingkirkan lawan politik dan sektarian secara perlahan.
Salah satu elemen kunci dari proses ini adalah pembentukan organisasi rahasia Alawiyah bernama Jam’iyyat Ali al-Murtada. Organisasi ini dipimpin oleh Jamil al-Assad, saudara Hafez al-Assad, dan berfungsi sebagai alat konsolidasi kekuasaan di tubuh militer Suriah.
Tujuan utama perkumpulan tersebut adalah membersihkan Angkatan Darat dari perwira-perwira Sunni, serta menyingkirkan perwira Druze dan Ismaili dari posisi-posisi strategis. Dengan cara ini, kendali atas angkatan udara, intelijen, dan komando militer perlahan dipusatkan di tangan perwira Alawiyah.
Seorang atase militer Uni Soviet di Damaskus bahkan menyebut organisasi ini sebagai pemerintah de facto Suriah. Dalam pandangannya, kekuasaan nyata tidak berada pada struktur formal negara, melainkan pada jaringan Alawiyah yang mengendalikan militer dan keamanan.
Akar ideologis dari strategi ini dapat ditelusuri ke sebuah pertemuan rahasia pada 1960 di Qardaha, kampung halaman keluarga Assad. Peneliti Prancis Michel Seurat mencatat bahwa pertemuan tersebut dihadiri para syekh dan perwira senior Alawiyah, dengan Hafez al-Assad sebagai tokoh sentralnya.
Dalam pertemuan itu, muncul gagasan untuk mendirikan negara Alawiyah dengan Homs sebagai ibu kota. Meski rencana ini tidak pernah diwujudkan secara formal, arah kebijakan yang diambil kemudian menunjukkan semangat penguatan identitas dan kekuasaan kelompok Alawiyah.
Keputusan lain yang diambil adalah mendorong masuknya pemuda-pemuda Alawiyah terdidik ke Partai Ba’ath dan lembaga militer. Langkah ini memastikan regenerasi elite yang loyal dan memiliki akses ke struktur kekuasaan negara.
Selain itu, didorong pula migrasi besar-besaran warga Alawiyah dari desa ke kota-kota utama seperti Homs, Latakia, dan Tartus. Migrasi ini bertujuan untuk menguasai sektor ekonomi, media, dan birokrasi, yang sebelumnya didominasi borjuis Sunni.
Momentum penting datang setelah kudeta Ba’ath pada Maret 1963. Dalam waktu singkat, sekitar 700 perwira diberhentikan dari Angkatan Darat, dan hampir separuhnya digantikan oleh perwira Alawiyah yang dianggap lebih loyal.
Perwira Sunni yang masih bertahan umumnya dipindahkan ke garis depan melawan Israel atau ke pos-pos terpencil. Sementara itu, kendali strategis atas Damaskus dan pusat kekuasaan tetap berada di tangan jaringan militer Alawiyah.
Pembersihan serupa juga menyasar perwira Druze dan Ismaili, terutama dari unit-unit sensitif. Dengan demikian, pluralitas sektarian di tubuh militer Suriah semakin terkikis.
Puncak dari proses kudeta merangkak ini terjadi pada 1970, ketika Hafez al-Assad merebut kekuasaan penuh dan menjadi presiden. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Suriah modern, jabatan presiden dipegang oleh seorang Alawiyah.
Secara terbuka, Hafez al-Assad menampilkan diri sebagai nasionalis Arab dan pemimpin sekuler. Namun di balik layar, ia tetap menjalin hubungan erat dengan para syekh Alawiyah dan mengonsolidasikan basis sektariannya.
Dalam pertemuan tertutup di Latakia, Assad mendorong elite Alawiyah untuk meninggalkan desa, menjadi pengusaha, dan bersaing langsung dengan borjuis Sunni. Strategi ini memperluas dominasi Alawiyah dari militer ke ranah ekonomi.
Menyadari posisi Alawiyah sebagai minoritas kecil, Assad juga membangun aliansi ideologis dan geopolitik dengan Iran. Ratusan mahasiswa Alawiyah dikirim ke Qom untuk mempelajari fikih Syiah Ja’fari, sebagai bagian dari upaya mencari legitimasi keagamaan.
Dari sinilah terbentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Poros Syiah, yang membentang dari Lebanon hingga kawasan timur Iran. Poros ini menjadi penopang strategis rezim Suriah dalam menghadapi tekanan regional dan internal.
Di tingkat internasional, Assad mengamankan dukungan Uni Soviet melalui perjanjian persahabatan dan kerja sama militer. Pada saat yang sama, ia tetap menjaga hubungan pragmatis dengan negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang disebut-sebut menjadi salah satu sumber pendanaan rezim.
Untuk meredam kritik ulama Sunni atas status keagamaannya, Hafez al-Assad mengubah sumpah jabatan presiden menjadi sumpah Islam dan menampilkan diri sebagai pelindung Islam. Langkah ini bersifat simbolik namun penting secara politik.
Tekanan dari kalangan ulama akhirnya menghasilkan kompromi konstitusional, yakni pencantuman pasal bahwa presiden Suriah harus beragama Islam. Dengan demikian, kudeta merangkak Alawiyah tidak hanya menguasai negara, tetapi juga membentuk ulang wajah politik dan identitas Suriah hingga hari ini.
0 comments:
Post a Comment