Tarombo atau silsilah dalam masyarakat Batak merupakan bagian penting dari identitas budaya, namun tak jarang menimbulkan kebingungan karena beragamnya versi yang berkembang. Di berbagai daerah di Sumatera Utara, masing-masing komunitas Batak bisa memiliki narasi tarombo yang berbeda-beda, baik dari sisi tokoh leluhur, daerah asal, bahkan hubungan dengan bangsa-bangsa luar seperti Arab, India, atau Tiongkok. Situasi ini kerap menimbulkan pertanyaan di kalangan generasi muda: tarombo mana yang benar dan mengapa tidak semuanya seragam?
Perbedaan ini sebagian besar bersumber dari latar belakang pembentukan tarombo itu sendiri. Dalam banyak kasus, yang disebut sebagai tarombo adalah silsilah dari raja-raja atau pemimpin yang kemudian diikuti oleh masyarakatnya. Dalam konteks ini, marga bukan selalu merupakan cerminan silsilah biologis, tetapi bisa menjadi simbol loyalitas politik atau kultural. Sebuah marga yang diklaim berasal dari Majapahit atau Pagaruyung, misalnya, walau bisa saja itu benar tapi ada juga kemungkinan belum tentu benar-benar memiliki garis darah dari kerajaan tersebut, tetapi bisa jadi merupakan bagian dari legitimasi politik pada masa lalu. Apalagi ada pihak yang mengutamakan catatan kolonial Belanda, Portugis, Inggris, misionaris dll daripada manuskrip Melayu era Kesultanan Aceh dan Minangkabau atau sebaliknya.
Fenomena lain yang sering muncul adalah upaya menyelaraskan tarombo tradisional dengan pengetahuan modern, seperti hasil penelitian DNA, linguistik, dan arkeologi. Dalam konteks ini, muncul pendekatan baru yang mencoba mengaitkan tarombo Batak dengan migrasi Austronesia dari Taiwan, Filipina, dan Tiongkok Selatan. Pendekatan ini tidak selalu bertentangan dengan narasi lokal, tetapi menghadirkan sudut pandang yang lebih ilmiah dan bersifat lintas suku.
Tarombo juga kerap dicampur dengan legenda dan mitos yang memperkaya tetapi sekaligus menambah kompleksitas pemahamannya. Contohnya adalah kisah asal-usul dari Pusuk Buhit yang dianggap sebagai pusat penciptaan orang Batak menurut tradisi sebagian orang yang berdomisili di Kabupaten Samosir, atau legenda dari Barus yang disebut sebagai salah satu kota tertua tempat nenek moyang Batak pertama kali mendarat. Versi-versi ini tidak bisa dianggap sebagai catatan sejarah murni, tetapi berfungsi sebagai fondasi spiritual dan kultural yang kuat dalam masyarakat.
Beberapa marga bahkan memiliki tarombo versi "nasionalistik", yang memasukkan unsur-unsur besar dari sejarah luar negeri demi memperkuat identitas atau kebanggaan, seperti tarombo yang berasal dari keturunan Arab, Persia, India dan bahkan belakangan dengan Israel khususnya oleh kalangan simpatisan faham zionisme masonik yang terkait berdirinya negara Israel tahun 1948 usai Al Nakba di Palestina. Dalam dunia yang terus berkembang, narasi ini bisa menjadi alat untuk menciptakan rasa bangga di tengah masyarakat modern, meskipun dari sudut pandang sejarah belum tentu bisa diverifikasi sepenuhnya.
Tarombo juga bisa mencerminkan dinamika asimilasi antarbangsa. Di wilayah perbatasan seperti Mandailing atau Tapanuli Selatan, pengaruh Aceh, Minangkabau, dan India sangat kuat, sehingga tidak aneh bila tarombo menyebut tokoh-tokoh dari luar Sumatera Utara sebagai leluhur. Dalam masyarakat yang majemuk, perubahan ini adalah keniscayaan yang menggambarkan interaksi kultural yang berlangsung ratusan tahun.
Fenomena yang sama juga ditemukan di luar masyarakat Batak. Masyarakat Jawa, misalnya, mengenal tokoh Aji Saka sebagai pembawa peradaban dan huruf Jawa, padahal sejarahnya bercampur antara mitos dan fakta. Suku Bugis dan Makassar mengenal konsep To Manurung, manusia langit yang turun ke bumi untuk memimpin rakyat, meski ada juga orang Bugis (yang menurunkan marga Lubis dll di Sumatera Utara) meyakini sebagai keturunan Nabi Saulaiman AS. Ini menunjukkan bahwa narasi leluhur dan silsilah tidak melulu bersifat historis, tetapi sering kali merupakan alat membangun legitimasi sosial.
Salah satu tantangan besar dalam memahami tarombo adalah kecenderungan masyarakat untuk memutlakkan satu versi dan menolak versi lainnya. Padahal, tarombo adalah hasil konstruksi sosial yang tidak pernah statis. Setiap generasi bisa menambahkan atau merekonstruksi ulang narasi leluhur mereka sesuai kebutuhan zaman.
Tarombo juga memainkan peran penting dalam struktur sosial dan hukum adat. Dalam masyarakat Batak, pengetahuan tentang tarombo menentukan siapa yang bisa menikah dengan siapa, siapa yang memiliki hak tanah, hingga posisi dalam musyawarah adat. Maka dari itu, ketepatan dan penerimaan terhadap satu versi tarombo sering kali menjadi isu sensitif.
Namun, di tengah perbedaan yang ada, banyak kalangan muda kini mulai mendekati tarombo dengan cara yang lebih terbuka. Mereka melihatnya sebagai warisan budaya yang bisa dikaji, dikritisi, dan disandingkan dengan informasi baru, bukan sekadar dogma yang tak boleh disentuh.
Ada pula komunitas-komunitas yang berupaya mendokumentasikan berbagai versi tarombo secara digital, termasuk memetakan keterkaitan antar-marga dengan bantuan teknologi. Inisiatif seperti ini bisa menjadi jembatan antara tradisi lisan dan kebutuhan zaman digital, serta membuka ruang dialog antar versi tarombo.
Di sisi lain, tidak sedikit pula yang memilih merangkul semua versi tarombo sebagai bagian dari narasi besar identitas Batak. Bagi mereka, keberagaman versi bukan kekurangan, melainkan kekayaan yang mencerminkan dinamika sejarah dan interaksi kultural.
Pendekatan lintas disiplin seperti antropologi, linguistik, hingga genetika juga membantu mengklarifikasi asal-usul yang selama ini hanya diceritakan secara turun-temurun. Meski tidak serta merta menghapus nilai tradisional, pendekatan ini memberi wawasan yang lebih luas tentang sejarah migrasi dan pembentukan masyarakat Batak.
Kesadaran akan multiverasi tarombo juga bisa membantu meredam konflik antar marga yang kadang muncul karena perbedaan versi sejarah. Dengan pemahaman bahwa tidak semua narasi bisa dipaksakan menjadi satu versi tunggal, masyarakat bisa lebih menerima keragaman sebagai kenyataan sosial.
Perlu juga dicatat bahwa tarombo tidak hanya soal siapa berasal dari siapa, tetapi juga siapa yang dianggap pantas untuk diwarisi, dipatuhi, dan dihormati. Oleh karena itu, tarombo adalah juga konstruksi kekuasaan dan moralitas dalam masyarakat adat.
Dalam konteks globalisasi, tarombo Batak sedang mengalami fase penting: antara pelestarian, penyesuaian, dan reinterpretasi. Tantangan ke depan adalah bagaimana tetap mempertahankan esensinya sambil membuka diri pada pendekatan ilmu pengetahuan modern.
Sebagian akademisi menyarankan agar tarombo dikaji dengan pendekatan multidisipliner dan melibatkan banyak komunitas, agar tidak hanya didominasi oleh narasi elit atau marga besar saja. Dengan begitu, tarombo bisa menjadi cermin sejarah kolektif, bukan sekadar alat legitimasi.
Pada akhirnya, memahami tarombo Batak dan suku-suku lain di Nusantara adalah usaha untuk memahami diri sendiri sebagai bagian dari sejarah panjang yang penuh dinamika. Ia bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana masyarakat ingin memproyeksikan masa depan mereka melalui kisah leluhur yang mereka pilih untuk percaya.
0 comments:
Post a Comment