Soeara Asia

Baca & Lihat

Fahami

Let's read

See Here
Propaganda Belanda

Cara Mereka

Melihat Indonesia

Sangat Aneh

Baca
Feature Cause

Save Humanity

To Help Them Survive

Let's help

Donate Now
Feature Cause

Donate & Help

To Give Them a Life

Let's help

Donate Now

Daftar, Isi

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

Our Latest Blog

Monday, 15 September 2025

Upaya Asing Menjadikan Suriah seperti Bosnia dengan Federasi Negara Mini

Suriah kini diperkirakan telah menjadi negara dengan federasi 'negara mini' akibat campur tangan dan intervensi asing.

Wilayah yang berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah (SDF) misalnya kian menunjukkan wajahnya sebagai sebuah entitas politik atau negara mini tersendiri. Struktur pemerintahan yang mereka bangun sudah menyerupai model negara dalam negara, dengan sistem region atau kanton yang dipimpin oleh figur setingkat perdana menteri. Pola ini mengingatkan pada sistem yang diterapkan di Bosnia-Herzegovina pascaperang, di mana kekuasaan dibagi dalam kerangka otonomi yang luas.

Sejak beberapa tahun terakhir, SDF dan Dewan Suriah Demokratik (MSD/SDC) yang menjadi payung politiknya, telah membagi kawasan timur laut Suriah menjadi beberapa region atau canton. Jazira, Eufrat, Raqqa, Tabqa, hingga Deir ez-Zor memiliki struktur pemerintahan lokal yang nyaris lengkap, mulai dari dewan legislatif, eksekutif, hingga posisi perdana menteri regional.

Model ini memberi legitimasi politik bagi SDF, meski secara formal mereka belum diakui Damaskus maupun komunitas internasional. Namun, dalam praktik sehari-hari, masyarakat di wilayah ini sudah hidup dalam sebuah sistem yang berbeda dari rezim pusat Suriah. Mereka memiliki aparat keamanan, pasukan militer, hingga sistem hukum tersendiri.

Di Jazira, misalnya, Akram Hesso pernah menjabat sebagai perdana menteri regional. Ia bekerja bersama Elizabeth Gawrie dan Hussein Taza Al Azam sebagai wakil perdana menteri. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pemerintahan tidak hanya ada di atas kertas, tetapi benar-benar berjalan.

Sementara itu, Region Eufrat dipimpin oleh Enver Muslim, dengan Bêrîvan Hesen dan Xalid Birgil sebagai deputi. Pembagian kekuasaan ini membuktikan bahwa SDF membangun kerangka politik multi-etnis, yang tidak hanya diisi oleh orang Kurdi, tetapi juga Arab dan minoritas lain. Tapi itu di atas kertas, sebenarnya adalah semua posisi penting di SDF dipegang YPG Kurdi dan kursi YPG didominasi orang yang ditunjuk oleh PKK yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh Turki.

Raqqa dan Tabqa pun diproyeksikan memiliki struktur serupa, meski jabatan formal perdana menteri regional belum terisi. Namun, administrasi sipil yang mengelola kedua wilayah ini tetap menjalankan fungsi pemerintahan, mulai dari layanan publik hingga urusan ekonomi.

Kehadiran sistem region ini semakin menegaskan bahwa SDF tidak menerapkan sistem yang biasa seperti provinsi, kabupaten dll. Di bawah payung otonomi, mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat bisa hidup tanpa ketergantungan langsung pada Damaskus.

Presiden Suriah Ahmed Al-Shara, dalam wawancaranya baru-baru ini, menyinggung fenomena ini dengan nada hati-hati. Ia mengakui bahwa selama ini Israel dkk ingin mengubah Suriah menjadi federasi negara mini 

Menurut Al-Shara, klaim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa jatuhnya rezim Assad dipicu oleh manuver Israel adalah keliru. Justru semua itu atas kegigihan rakyat Suriah sendiri.

Ia menambahkan bahwa Israel sempat berharap Suriah akan terpecah menjadi kanton-kanton yang saling bermusuhan. Seperti Alawite yang berkuasa di Damaskus Latakia dan Tartus era Bashar Al Assad, pemerintaha SDF Kurdi di Timur Suriah, pemerintahan penyelamat SG di Idlib dan interim SIG di Azaz sebagaimana era Assad.

Negosiasi yang sedang berlangsung antara Damaskus dan Israel untuk menghidupkan kembali perjanjian 1974 dianggap Al-Shara sebagai fase sensitif. Ia menekankan pentingnya kesepakatan keamanan agar wilayah Suriah tidak dijadikan ajang percobaan geopolitik, seperti yang dikhawatirkan terjadi di wilayah SDF.

Meski demikian, struktur pemerintahan SDF sulit diabaikan. Dengan adanya perdana menteri regional, dewan legislatif, dan administrasi sipil, wilayah ini berjalan seolah-olah sebagai negara bagian dengan otonomi penuh.

Salah satu kekuatan utama SDF adalah kemampuannya menggabungkan militer dan politik. Pasukan bersenjata mereka tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menopang legitimasi pemerintahan. Ini menjadikan mereka pemain yang sulit digeser, bahkan oleh Damaskus sekalipun.

Bagi masyarakat lokal, keberadaan pemerintahan regional memberi rasa stabilitas. Mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada birokrasi Damaskus, yang selama bertahun-tahun dianggap abai terhadap kebutuhan kawasan timur laut.

Namun, model ini juga menimbulkan pertanyaan besar. Apakah sistem region ala Bosnia ini akan permanen? Ataukah hanya menjadi fase transisi sebelum integrasi penuh dengan pemerintahan Suriah?

Beberapa pengamat menilai bahwa struktur negara dalam negara ini bisa menjadi pintu masuk bagi federalisme di Suriah. Tetapi, hal itu berlawanan dengan visi Suriah yang bernuansa persatuan.

Rusia, sebagai salah satu aktor besar di Suriah, tampaknya melihat peluang menjadikan sistem region sebagai bagian dari solusi rekonsiliasi politik. Jika berhasil, wilayah SDF bisa menjadi model baru dalam menyatukan Suriah tanpa harus memaksakan sistem tunggal.

Meski begitu, skeptisisme tetap ada. Israel, misalnya, memandang struktur SDF sebagai celah untuk menciptakan perpecahan di Suriah. Al-Shara menegaskan bahwa negaranya tidak akan membiarkan rencana semacam itu berkembang lebih jauh.

Kini, masa depan wilayah SDF berada di persimpangan. Apakah mereka akan terus berkembang sebagai negara dalam negara, atau akhirnya melebur ke dalam struktur Suriah yang lebih luas, masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal jelas: SDF telah menegaskan dirinya sebagai kekuatan politik dan militer yang tidak bisa diabaikan.

Sunday, 14 September 2025

India Mulai Larang Hindu Menghibahkan Properti ke Orang Islam


Di desa-desa kecil Punjab, seperti Umarpura dan Jitwalkalan, tradisi gotong royong lintas agama masih bertahan. Sikh dan Muslim membangun bersama masjid, sekolah, dan fasilitas desa, meski sejarah dan politik kerap mencoba memisahkan mereka.

Namun kini, ancaman baru muncul dalam bentuk regulasi. New Waqf Law melarang non-Muslim menyumbang kepada umat Muslim. Bagi warga desa yang terbiasa membantu tetangga, ini bukan sekadar aturan—ini ujian moral.

Sanjay Jha memperingatkan bahwa pengawasan ideologis lebih dari politik semata. “Ini adalah krisis moral,” katanya. “Niat jahat sering terselubung di balik kedok yang baik. Kebenaran sejati berada di ketinggian yang lebih tinggi, melampaui retorika dan logika yang menyimpang.”

Dulu, masjid-masjid pra-Partition di desa-desa ini hidup dengan aktivitas warga. Setiap Jumat, azan bergema, dan anak-anak belajar Al-Qur’an. Kini, sebagian bangunan rusak atau digunakan untuk penyimpanan, mengingatkan pada sejarah yang terlupakan.

Di Khanan Khurd, distrik Muktsar, warga Sikh dan Hindu membiayai pembangunan masjid baru bagi komunitas Muslim yang tersisa. Mereka berdiri bersama di upacara peresmian, menunjukkan solidaritas yang menentang tekanan politik.

Tetapi New Waqf Law mengancam model kerjasama ini. Apa yang dulunya mulia dan alami, kini bisa dipandang ilegal. Bagi beberapa warga, ini menimbulkan rasa takut: mereka khawatir membantu tetangga berarti melanggar hukum.

Di Bakhtgarh, Barnala, keluarga Sikh menyumbangkan tanah agar 15 rumah Muslim bisa membangun masjid. Bantuan ini adalah simbol persaudaraan, namun regulasi baru dapat menghalangi tindakan semacam ini di masa depan.

Sikap gotong royong yang dulunya menjadi simbol harmoni kini diuji. Jha menekankan bahwa nilai moral dan kemanusiaan harus lebih tinggi dari sekadar kepatuhan hukum yang membatasi solidaritas.

Di Mandvi, masjid pra-Partition yang terbengkalai masih berdiri sebagai saksi sejarah. Beberapa warga masih ingin merestorasinya, tetapi New Waqf Law menambah kerumitan, membatasi bantuan lintas agama yang mungkin diberikan.

Anak-anak yang dulu belajar di masjid kini tumbuh dalam ketidakpastian. Generasi baru mulai kehilangan teladan interaksi sosial yang damai dan pluralistik, karena ketakutan akan konsekuensi hukum atau tekanan sosial.

Jha menekankan bahwa pengawasan ideologis ini menimbulkan dilema etis. Ketika solidaritas dianggap ilegal, warga harus menimbang antara kebaikan moral dan risiko hukum.

Di desa-desa kecil Punjab, persaudaraan lintas agama tetap bertahan secara diam-diam. Gotong royong tetap terjadi, meski warga sadar bahwa tindakan mereka kini berada di bawah pengawasan.

New Waqf Law juga memengaruhi persepsi masyarakat terhadap hukum. Orang mulai mempertanyakan apakah regulasi dibuat untuk melindungi kepentingan umum atau untuk menekan nilai-nilai solidaritas yang selama ini hidup.

Jha menekankan pentingnya kesadaran kritis. Masyarakat harus mampu membedakan antara hukum yang adil dan regulasi yang menindas persaudaraan dan harmoni lintas agama.

Di banyak desa, termasuk Umarpura, warga Sikh dan Hindu masih merestorasi masjid yang ditinggalkan sejak Partition. Aktivitas ini menjadi simbol harapan bahwa pluralisme sosial masih mungkin dipertahankan.

Meskipun hukum dapat mengekang, keberanian moral warga desa menjadi kunci. Solidaritas dan kerja sama lintas agama menunjukkan bahwa kemanusiaan bisa bertahan meski tekanan politik meningkat.

Jha menekankan bahwa nilai moral harus lebih tinggi dari ketakutan. “Kebenaran sejati dan solidaritas tidak hilang, tetapi masyarakat harus berani menegakkannya,” ujarnya.

Pengawasan ideologis dan regulasi diskriminatif seperti New Waqf Law menjadi ujian bagi masyarakat. Desa-desa kecil Punjab menjadi laboratorium moral bagi pluralisme yang bertahan di tengah tekanan hukum.

Bagi komunitas Muslim, Sikh, dan Hindu, tantangan ini bukan hanya persoalan hukum, tetapi ujian etika. Bagaimana mempertahankan solidaritas ketika tindakan sehari-hari bisa dianggap melanggar hukum?

Akhirnya, desa-desa seperti Umarpura dan Jitwalkalan tetap menunjukkan bahwa kerja sama lintas agama masih mungkin. Meski menghadapi krisis moral, warga berusaha mempertahankan persaudaraan yang telah lama menjadi fondasi sosial mereka.

Friday, 12 September 2025

Suriah Bisa Bangkit atau Terperangkap Kemiskinan


Rekonstruksi Suriah pasca-konflik bisa menjadi titik balik bagi masa depan negara tersebut, asalkan dilakukan dengan strategi yang matang. Pengalaman pemulihan Aceh pasca-tsunami 2004 bisa menjadi pelajaran berharga. Di Aceh, pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi non-pemerintah bekerja sama dalam skala besar untuk memulihkan rumah, infrastruktur, dan ekonomi lokal.

Jika Suriah meniru pendekatan serupa, tahap pertama yang harus dilakukan adalah tanggap darurat dan pemulihan infrastruktur dasar. Jalan, jembatan, listrik, dan fasilitas air bersih harus segera dibangun kembali agar masyarakat bisa kembali menjalani kehidupan normal. Hal ini juga akan membuka ruang bagi pemulihan ekonomi lokal secara cepat.

Tahap berikutnya adalah rehabilitasi sosial dan ekonomi. Seperti di Aceh, pemberdayaan masyarakat lokal menjadi kunci. Program pekerjaan darurat, pelatihan keterampilan, dan dukungan usaha kecil dapat membangkitkan perekonomian yang hancur akibat perang. Dengan pendekatan ini, masyarakat menjadi bagian aktif dari proses pembangunan.

Pemerintah Suriah juga harus membangun rumah permanen dan fasilitas publik. Di Aceh, pembangunan perumahan massal dan sekolah berhasil mengembalikan rasa aman dan stabilitas sosial. Dengan langkah serupa, Suriah bisa menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat kembali hidup normal dan produktif.

Koordinasi antar lembaga pemerintah, militer, dan sektor swasta menjadi faktor krusial. Seperti halnya di Aceh, transparansi penggunaan dana dan pembagian tugas yang jelas memastikan proyek berjalan tepat waktu dan tepat sasaran. Ketidakselarasan antara kementerian dan lembaga pengawas di Suriah saat ini bisa menjadi hambatan besar jika tidak segera diatasi.

Jika rekonstruksi Suriah berhasil, negara ini memiliki potensi untuk menjadi negara maju yang disegani. Infrastruktur modern, industri strategis yang pulih, dan ekonomi yang berkembang dapat menarik investasi asing dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Suriah bisa menjadi pusat perdagangan dan energi di kawasan Timur Tengah.

Pengalaman Aceh menunjukkan bahwa keberhasilan rekonstruksi tidak hanya ditentukan oleh dana, tetapi juga oleh kepemimpinan yang efektif dan perencanaan jangka panjang. Suriah harus memastikan adanya visi nasional yang jelas agar setiap proyek berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.

Sektor strategis seperti minyak, gas, pertanian, dan tambang fosfat harus dikelola secara profesional. Keterlibatan investor lokal dan internasional yang transparan dapat mempercepat pemulihan ekonomi. Tanpa strategi ini, potensi ekonomi Suriah tetap tertahan oleh birokrasi dan konflik internal.

Selain infrastruktur fisik, aspek sosial dan budaya juga penting. Pendidikan, kesehatan, dan rekonstruksi komunitas menjadi fondasi untuk stabilitas jangka panjang. Di Aceh, sekolah dan rumah sakit yang dibangun kembali membantu mempercepat pemulihan mental dan sosial masyarakat.

Jika pendekatan ini diterapkan dengan disiplin, Suriah bisa keluar dari perang dengan ekonomi yang kuat, masyarakat stabil, dan posisi geopolitik yang diperhitungkan. Keberhasilan ini akan menjadi contoh bagi negara lain yang sedang dalam proses rekonstruksi pasca-konflik.

Namun, jika rekonstruksi gagal, Suriah berisiko menjadi “Somalia baru”. Ketidakmampuan mengelola proyek strategis, korupsi, dan persaingan internal dapat memperlambat pembangunan dan menjebak rakyat dalam kemiskinan struktural.

Faktor utama kegagalan adalah ketidakselarasan antara pemerintah, lembaga pengawas, dan elite lokal. Konflik internal seperti yang terlihat pada kasus fosfat Yara dapat menunda proyek penting dan mengurangi kepercayaan investor.

Kegagalan rekonstruksi juga akan berdampak pada generasi muda. Tanpa pekerjaan, pendidikan, dan fasilitas publik yang memadai, mereka berisiko terjerumus ke pengangguran, migrasi paksa, atau konflik baru.

Skenario “Somalia baru” berarti Suriah akan terjebak dalam lingkaran kemiskinan, ketergantungan pada bantuan internasional, dan lemahnya posisi geopolitik. Negara yang dulunya pusat peradaban dan perdagangan maritim bisa kehilangan relevansinya di kawasan.

Oleh karena itu, strategi rekonstruksi harus menyertakan semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah pusat, lokal, hingga komunitas internasional. Aceh menjadi contoh sukses karena semua pihak berkolaborasi secara efektif.

Teknologi dan inovasi juga harus menjadi bagian dari rekonstruksi. Infrastruktur modern, energi terbarukan, dan industri strategis dapat mempercepat pemulihan ekonomi dan membuat Suriah lebih kompetitif di pasar global.

Selain itu, rehabilitasi mental dan sosial rakyat sangat penting. Trauma pasca-perang harus ditangani melalui pendidikan, kesehatan mental, dan program sosial agar masyarakat dapat kembali produktif dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

Pendekatan bertahap dan terukur, seperti yang dilakukan di Aceh, memungkinkan pemerintah Suriah mengevaluasi setiap fase pembangunan, memperbaiki kesalahan, dan memastikan keberlanjutan proyek.

Jika semua tahap dijalankan dengan disiplin, Suriah bisa keluar dari krisis dengan posisi regional yang kuat, ekonomi tangguh, dan masyarakat yang stabil. Keberhasilan ini akan menjadi simbol kebangkitan pasca-konflik di Timur Tengah.

Sebaliknya, tanpa perencanaan matang dan koordinasi efektif, Suriah menghadapi risiko besar. Proyek-proyek strategis stagnan, investasi gagal, dan masyarakat tetap menderita. Negeri ini bisa menjadi contoh kegagalan rekonstruksi pasca-konflik yang menyedihkan.

Dengan kata lain, masa depan Suriah bergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakatnya meniru pelajaran dari Aceh. Keberhasilan atau kegagalan rekonstruksi akan menentukan apakah Suriah menjadi negara maju yang disegani atau jatuh ke kemiskinan berkepanjangan.


Thursday, 4 September 2025

Surat Kepemilikan Jadi Kendala Pulang Pengungsi Suriah

Empat belas tahun perang membuat distrik Qaboun di Damaskus hancur hampir total. Lebih dari 80 persen wilayahnya rata dengan tanah, meninggalkan reruntuhan yang sulit dikenali. Di balik kehancuran itu, para pengungsi yang ingin kembali menghadapi tantangan besar, bukan hanya soal biaya rekonstruksi, tetapi juga urusan surat-surat kepemilikan properti yang hilang selama perang.

Banyak keluarga kehilangan dokumen penting mereka saat melarikan diri. Akta tanah, bukti kepemilikan rumah, hingga surat izin bangunan lenyap terbakar atau tertinggal di daerah konflik. Padahal, pemerintah menuntut bukti kepemilikan untuk memberikan izin membangun kembali. Hal ini membuat kepulangan seolah menjadi mimpi sulit diwujudkan.

Namun, sejumlah skenario baru mulai dibicarakan untuk mencari jalan keluar. Salah satu yang paling realistis adalah penggunaan keterangan saksi dari tetangga, ketua RT, atau pejabat lokal. Dengan sistem ini, seorang pengungsi tetap bisa membuktikan kepemilikan rumah meski dokumen asli sudah tidak ada.

Praktik semacam ini bukan hal baru di dunia. Dalam banyak kasus bencana, negara lain pernah menggunakan sistem kesaksian untuk mengembalikan hak masyarakat. Misalnya di Indonesia pascatsunami Aceh 2004, ribuan warga kehilangan sertifikat tanah. Pemerintah saat itu melibatkan tetangga dan tokoh masyarakat sebagai saksi dalam proses penerbitan ulang surat tanah.

Pengalaman serupa juga terjadi di Jepang pascagempa dan tsunami 2011. Banyak arsip hilang, tetapi pemerintah setempat membuka jalur khusus dengan mengandalkan pernyataan saksi, catatan desa, dan arsip sekunder dari lembaga keuangan. Langkah ini mempercepat proses pemulihan dan mencegah konflik kepemilikan.

Di Rwanda, setelah tragedi genosida 1994, ribuan orang kehilangan dokumen identitas dan kepemilikan tanah. Pemerintah akhirnya membuat mekanisme pengakuan berbasis komunitas. Kesaksian kolektif dari warga menjadi dasar hukum sementara sebelum dokumen baru diterbitkan. Cara ini terbukti efektif untuk mencegah sengketa berkepanjangan.

Bagi Suriah, opsi ini dinilai sangat penting mengingat besarnya kerusakan dan banyaknya keluarga yang terdampak. Jika pemerintah tetap bersikeras meminta dokumen resmi yang hilang, maka kepulangan pengungsi akan terus tertunda. Sementara itu, rumah-rumah yang rusak akan dibiarkan terbengkalai lebih lama.

Selain soal surat, tantangan lain datang dari biaya pembangunan kembali. Perkiraan mencapai 400 miliar dolar membuat rekonstruksi tampak mustahil tanpa dukungan internasional. Tetapi jika hambatan administratif seperti dokumen kepemilikan bisa diselesaikan, warga setidaknya bisa mulai membangun dengan modal swadaya.

Para pengungsi sendiri menegaskan bahwa mereka tidak mencari kemewahan, hanya ingin kembali ke rumah dan memperbaiki kehidupan. Bagi mereka, saksi tetangga yang tinggal berdampingan sejak lama sudah cukup kuat menjadi bukti siapa pemilik asli sebuah rumah. Dukungan pemerintah dalam bentuk legalisasi kesaksian akan menjadi kunci.

Di Qaboun, beberapa warga sudah mencoba memperbaiki rumah seadanya. Mereka membersihkan puing-puing, menambal dinding, dan membuat tempat tinggal sementara. Namun, tanpa dokumen resmi, mereka hidup dalam ketidakpastian. Sewaktu-waktu, bangunan yang mereka perbaiki bisa diklaim pihak lain atau dibongkar aparat.

Oleh karena itu, mekanisme saksi menjadi solusi yang tidak hanya realistis tetapi juga mendesak. Ketua RT atau tokoh lokal yang mengenal baik warganya bisa memberi keterangan sahih. Ditambah verifikasi dari kepolisian setempat, kesaksian itu bisa diangkat ke ranah hukum untuk melindungi pengungsi yang kembali.

Keterlibatan aparat keamanan juga akan memberi jaminan tambahan. Dengan verifikasi resmi, pemerintah pusat akan lebih percaya terhadap keaslian klaim warga. Hal ini bisa mengurangi konflik baru yang mungkin timbul akibat klaim ganda atas properti.

Jika mekanisme ini diterapkan, maka rekonstruksi bisa dimulai dari skala kecil. Setiap keluarga yang pulang dapat memperbaiki rumah dengan keyakinan bahwa hak mereka diakui. Seiring waktu, kawasan yang hancur perlahan akan kembali hidup.

Pemerintah Suriah sebenarnya memiliki peluang besar untuk menunjukkan niat baik melalui kebijakan semacam ini. Dengan memberi ruang bagi saksi komunitas, pemerintah akan memperlihatkan kepedulian terhadap warganya yang ingin pulang. Kebijakan inklusif seperti ini bisa mempercepat proses rekonsiliasi nasional.

Organisasi internasional juga dapat berperan mendukung skema ini. Badan PBB seperti UNHCR dan UN-Habitat sudah berpengalaman membantu negara-negara lain dalam urusan dokumen kepemilikan pascakonflik. Kehadiran mereka bisa memperkuat validitas proses dan menambah kepercayaan masyarakat.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Beberapa pengusaha dan pihak berpengaruh yang sebelumnya diuntungkan dari penjualan besi bekas bangunan bisa menentang skema ini. Namun jika pemerintah konsisten, kepentingan segelintir orang tidak akan mampu menghalangi kepulangan ribuan pengungsi.

Skenario berbasis saksi ini juga akan mengurangi beban administratif. Proses penerbitan ulang dokumen bisa lebih cepat tanpa harus menunggu arsip lama yang sudah hilang. Dengan begitu, rekonstruksi bisa berjalan paralel dengan legalisasi kepemilikan.

Bagi pengungsi, setiap langkah kecil menuju pengakuan hak sangat berarti. Mereka sudah lama hidup dalam ketidakpastian dan pengasingan. Kesempatan untuk kembali membangun rumah, meski sederhana, adalah simbol dari kembalinya kehidupan yang normal.

Jika pengalaman negara lain menjadi acuan, Suriah bisa membuktikan bahwa rekonstruksi tidak harus menunggu sempurna. Dengan memanfaatkan kekuatan komunitas dan kesaksian warga, jalan pulang bisa dibuka. Dari puing-puing kehancuran, harapan baru akan lahir bersama rumah-rumah yang kembali berdiri.