Suriah kini diperkirakan telah menjadi negara dengan federasi 'negara mini' akibat campur tangan dan intervensi asing.
Wilayah yang berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah (SDF) misalnya kian menunjukkan wajahnya sebagai sebuah entitas politik atau negara mini tersendiri. Struktur pemerintahan yang mereka bangun sudah menyerupai model negara dalam negara, dengan sistem region atau kanton yang dipimpin oleh figur setingkat perdana menteri. Pola ini mengingatkan pada sistem yang diterapkan di Bosnia-Herzegovina pascaperang, di mana kekuasaan dibagi dalam kerangka otonomi yang luas.
Sejak beberapa tahun terakhir, SDF dan Dewan Suriah Demokratik (MSD/SDC) yang menjadi payung politiknya, telah membagi kawasan timur laut Suriah menjadi beberapa region atau canton. Jazira, Eufrat, Raqqa, Tabqa, hingga Deir ez-Zor memiliki struktur pemerintahan lokal yang nyaris lengkap, mulai dari dewan legislatif, eksekutif, hingga posisi perdana menteri regional.
Model ini memberi legitimasi politik bagi SDF, meski secara formal mereka belum diakui Damaskus maupun komunitas internasional. Namun, dalam praktik sehari-hari, masyarakat di wilayah ini sudah hidup dalam sebuah sistem yang berbeda dari rezim pusat Suriah. Mereka memiliki aparat keamanan, pasukan militer, hingga sistem hukum tersendiri.
Di Jazira, misalnya, Akram Hesso pernah menjabat sebagai perdana menteri regional. Ia bekerja bersama Elizabeth Gawrie dan Hussein Taza Al Azam sebagai wakil perdana menteri. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pemerintahan tidak hanya ada di atas kertas, tetapi benar-benar berjalan.
Sementara itu, Region Eufrat dipimpin oleh Enver Muslim, dengan Bêrîvan Hesen dan Xalid Birgil sebagai deputi. Pembagian kekuasaan ini membuktikan bahwa SDF membangun kerangka politik multi-etnis, yang tidak hanya diisi oleh orang Kurdi, tetapi juga Arab dan minoritas lain. Tapi itu di atas kertas, sebenarnya adalah semua posisi penting di SDF dipegang YPG Kurdi dan kursi YPG didominasi orang yang ditunjuk oleh PKK yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh Turki.
Raqqa dan Tabqa pun diproyeksikan memiliki struktur serupa, meski jabatan formal perdana menteri regional belum terisi. Namun, administrasi sipil yang mengelola kedua wilayah ini tetap menjalankan fungsi pemerintahan, mulai dari layanan publik hingga urusan ekonomi.
Kehadiran sistem region ini semakin menegaskan bahwa SDF tidak menerapkan sistem yang biasa seperti provinsi, kabupaten dll. Di bawah payung otonomi, mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat bisa hidup tanpa ketergantungan langsung pada Damaskus.
Presiden Suriah Ahmed Al-Shara, dalam wawancaranya baru-baru ini, menyinggung fenomena ini dengan nada hati-hati. Ia mengakui bahwa selama ini Israel dkk ingin mengubah Suriah menjadi federasi negara mini
Menurut Al-Shara, klaim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa jatuhnya rezim Assad dipicu oleh manuver Israel adalah keliru. Justru semua itu atas kegigihan rakyat Suriah sendiri.
Ia menambahkan bahwa Israel sempat berharap Suriah akan terpecah menjadi kanton-kanton yang saling bermusuhan. Seperti Alawite yang berkuasa di Damaskus Latakia dan Tartus era Bashar Al Assad, pemerintaha SDF Kurdi di Timur Suriah, pemerintahan penyelamat SG di Idlib dan interim SIG di Azaz sebagaimana era Assad.
Negosiasi yang sedang berlangsung antara Damaskus dan Israel untuk menghidupkan kembali perjanjian 1974 dianggap Al-Shara sebagai fase sensitif. Ia menekankan pentingnya kesepakatan keamanan agar wilayah Suriah tidak dijadikan ajang percobaan geopolitik, seperti yang dikhawatirkan terjadi di wilayah SDF.
Meski demikian, struktur pemerintahan SDF sulit diabaikan. Dengan adanya perdana menteri regional, dewan legislatif, dan administrasi sipil, wilayah ini berjalan seolah-olah sebagai negara bagian dengan otonomi penuh.
Salah satu kekuatan utama SDF adalah kemampuannya menggabungkan militer dan politik. Pasukan bersenjata mereka tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menopang legitimasi pemerintahan. Ini menjadikan mereka pemain yang sulit digeser, bahkan oleh Damaskus sekalipun.
Bagi masyarakat lokal, keberadaan pemerintahan regional memberi rasa stabilitas. Mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada birokrasi Damaskus, yang selama bertahun-tahun dianggap abai terhadap kebutuhan kawasan timur laut.
Namun, model ini juga menimbulkan pertanyaan besar. Apakah sistem region ala Bosnia ini akan permanen? Ataukah hanya menjadi fase transisi sebelum integrasi penuh dengan pemerintahan Suriah?
Beberapa pengamat menilai bahwa struktur negara dalam negara ini bisa menjadi pintu masuk bagi federalisme di Suriah. Tetapi, hal itu berlawanan dengan visi Suriah yang bernuansa persatuan.
Rusia, sebagai salah satu aktor besar di Suriah, tampaknya melihat peluang menjadikan sistem region sebagai bagian dari solusi rekonsiliasi politik. Jika berhasil, wilayah SDF bisa menjadi model baru dalam menyatukan Suriah tanpa harus memaksakan sistem tunggal.
Meski begitu, skeptisisme tetap ada. Israel, misalnya, memandang struktur SDF sebagai celah untuk menciptakan perpecahan di Suriah. Al-Shara menegaskan bahwa negaranya tidak akan membiarkan rencana semacam itu berkembang lebih jauh.
Kini, masa depan wilayah SDF berada di persimpangan. Apakah mereka akan terus berkembang sebagai negara dalam negara, atau akhirnya melebur ke dalam struktur Suriah yang lebih luas, masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal jelas: SDF telah menegaskan dirinya sebagai kekuatan politik dan militer yang tidak bisa diabaikan.
0 comments:
Post a Comment