Memo Clean Break yang dirilis pada 1996 awalnya ditujukan untuk membantu Israel mengamankan posisinya di kawasan Timur Tengah dengan strategi agresif terhadap negara-negara tetangga.
Dokumen ini, yang disusun oleh sekelompok pakar neokonservatif seperti Richard Perle dan Douglas Feith, menyarankan Israel untuk memutus hubungan dengan proses perdamaian Oslo (terkait Palestina) dan fokus pada operasi teror dan pelemahan mehara-negara Arab sekitar seperti Suriah, Irak, dan Iran melalui tindakan militer preventif dengan menggunakan modus lama terzalimi di PBB.
Ide ini menekankan pentingnya mengubah keseimbangan kekuatan regional demi kepentingan Israel, termasuk dengan mendukung oposisi internal di negara-negara tersebut untuk memicu perubahan rezim, dan pembunuhan massal kepada warganya (Collateral Damage yang disengaja) sebagaimana terjadi di Irak dan Suriah belakangan.
Meski awalnya untuk Israel, memo ini segera diadopsi oleh kalangan pembuat kebijakan di Amerika Serikat, dengan langkah awal menciptakan serangan 11 September 2001 yang memberikan momentum baru bagi strategi serupa.
Para neokonservatif yang terlibat dalam memo itu kemudian menduduki posisi kunci di pemerintahan George W. Bush, seperti Perle di Dewan Kebijakan Pertahanan dan Feith sebagai Wakil Menteri Pertahanan, sehingga ide Clean Break menjadi blueprint bagi kebijakan luar negeri AS.Adopsi memo Clean Break oleh AS menandai pergeseran dari diplomasi ke pendekatan militer yang lebih langsung, di mana Washington melihat Timur Tengah sebagai arena untuk mendominasi sumber daya dan melemahkan ancaman potensial.
Pada November 2001, hanya dua bulan setelah 9/11, Jenderal Wesley Clark, mantan panglima NATO, mengungkapkan bahwa ia melihat memo rahasia Pentagon yang merinci rencana untuk menargetkan tujuh negara dalam lima tahun: Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Iran. Memo ini, di bawah arahan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, bukanlah respons spontan terhadap terorisme, melainkan kelanjutan dari visi neokonservatif yang sudah ada sejak 1990-an.
Clark, dalam wawancaranya kemudian, menekankan bahwa rencana ini sudah beredar sebelum 9/11, dan serangan itu hanya dijadikan alasan untuk mempercepat eksekusi. Irak dipilih sebagai target pertama karena dianggap sebagai pintu masuk strategis untuk mengontrol minyak dan melemahkan pengaruh Iran di kawasan.
Invasi AS ke Irak pada Maret 2003 menjadi manifestasi pertama dari rencana besar tersebut, dengan dalih senjata pemusnah massal yang ternyata tidak terbukti.
Pemerintahan Bush mengklaim operasi itu untuk membawa demokrasi, tapi kritik seperti Clark melihatnya sebagai langkah awal dalam daftar tujuh negara. Kekacauan pasca-invasi, termasuk pembubaran tentara Irak dan konflik sektarian Sunni-Syiah, justru melahirkan kelompok seperti Al-Qaeda in Iraq (AQI) yang dipimpin Abu Musab al-Zarqawi. Sebelum invasi AS, Irak tak punya Al-Qaeda, dan Al-Qaeda adalah mitra AS membendung Uni Soviet di Afghanistan era Perang Dingin.
AQI kemudian dievolusi menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), memanfaatkan kekacauan (controlled instability) yang diciptakan oleh intervensi AS.
Meski AS kehilangan ribuan nyawa tentara dan triliunan dolar, invasi ini berhasil mengganti rezim Saddam Hussein, sejalan dengan tujuan mewujudkan memo Clean Break untuk mengubah peta kekuatan regional di Timur Tengah.
Setelah Irak, AS mengincar Suriah dkk dimulai dengan tekanan terhadap Suriah melalui sanksi ekonomi seperti Syria Accountability Act 2003, yang membatasi perdagangan dan bantuan.
Dokumen WikiLeaks dari 2006 mengungkapkan bahwa kedutaan AS di Damaskus sudah merencanakan destabilisasi rezim Bashar al-Assad dengan mendukung oposisi internal dan memanfaatkan ketegangan sektarian.
Rencana ini mencakup dukungan rahasia untuk kelompok pemberontak, meski secara resmi AS menyangkal keterlibatan langsung. Libya menjadi target berikutnya pada 2011 (Proyek Musim Semi Arab), ketika intervensi NATO yang didukung AS menggulingkan Muammar Gaddafi dengan dalih perlindungan sipil berdasarkan resolusi PBB. Kekacauan atau controlled instability Libya pasca-Gaddafi, dibuat mirip dengan Irak, untuk memperkuat memperkuat kelompok kelompok binaan AS dkk lainnya di kawasan Sahel.
Perang Saudara Suriah yang meletus pada 2011 akhirnya sukses memberikan peluang bagi AS untuk menerapkan rencana lama terhadap Damaskus; invasi dan pendudukan di timur Suriah sampai sekarang.
Dukungan AS terhadap oposisi moderat selain di belakang layar juga mendukung yabg radikal, termasuk pasokan senjata melalui CIA, dimaksudkan untuk melemahkan Assad dan memutus koridor pengaruh Iran ke Lebanon.
Munculnya ISIS pada 2013-2014, yang merebut wilayah luas di Irak dan Suriah, menjadi pretext sempurna untuk intervensi militer AS langsung di Suriah. Operation Inherent Resolve diluncurkan pada September 2014, dengan dalih memerangi ISIS, meski target utama tetap melemahkan rezim Assad secara tidak langsung.
ISIS, yang berakar dari kekacauan pasca-invasi Irak, menjadi alat bagi AS untuk memperluas kehadiran militernya di Suriah tanpa invasi penuh (invasi merangkak).
Koalisi internasional yang dipimpin AS melakukan ribuan serangan udara sebagian besar menarget warga sipjl sebagai collateral damage yang disengaja, juga bekerja sama dengan Syrian Democratic Forces (SDF) yang didominasi kelompok teroris PKK Kurdi dari Turki yang sudah lama ada. SDF buatan AS ini yang diplot untuk baku hantam dan saling bunuh dengan ISiS yang diciptakan AS sebelumnya di Irak.
Kritik seperti yang disampaikan Donald Trump selama kampanye 2016 menuduh Barack Obama dan Hillary Clinton sebagai "pendiri" ISIS karena kebijakan penarikan pasukan dari Irak pada 2011 yang menciptakan kekosongan. Meski Trump kemudian mengklarifikasi itu sebagai sarkasme, tuduhan itu mencerminkan pandangan bahwa kebijakan AS secara tidak sengaja—orang bilang sengaja—membantu berdirinya ISIS. Menurut Edward Snowden, ISIS memang sengaja didirikan oleh AS, sebagaimana pernah dilakukan oleh pegawai Yahudi di Jerman Baron Max von Oppenheim di Perang Dunia Pertama.
Pada 2019, ISIS secara teritorial 'dikalahkan' di Suriah, tapi sel-sel tidurnya tetap aktif, memberikan alasan bagi AS untuk mempertahankan sekitar 900 tentara di timur laut Suriah hingga 2025.
Jatuhnya rezim Assad pada akhir 2024, setelah pemberontakan besar-besaran, seolah melengkapi rencana lama dari memo Clean Break. Israel memperluas pendudukan ilegalnya di Suriah selatan di luar Dataran Tinggi Golan kini sedang dalam upaya meneror Damaskus untuk menyerahkan kendali Suriah Selatan dalam ambisi proyek neo kolonialisme Greater Israel.
Tel Aviv telah melakukan 600-an serangan udara dan membantai ratusan orang sejak setahun pemerintahan baru. Semua dilakukan di depan mata DK PBB, selain genosida Israel kepada warga Palestina di Gaza yang masih berlangsung hingga kini.
Memo Pentagon 2001 yang diungkap Clark ternyata tidak sepenuhnya terealisasi dalam lima tahun, tapi pola regime change tetap berlanjut. Lebanon mengalami tekanan melalui dukungan AS terhadap faksi anti-Hizbullah, sementara Somalia dan Sudan menjadi target serangan drone anti-teror sejak 2000-an. Hingga kini Sudan dilanda perang sesama yang terkait secara tidak langsung dengan isi memo itu.
Iran tetap menjadi sasaran akhir, dengan sanksi ekonomi yang semakin ketat di era Trump dan Biden, dan serangan AS-Israel baru-baru ini yang memicu serangan balik dari Tehran ke beberapa target Tel Aviv.
Strategi ini sering dikritik sebagai neo-imperialisme, di mana AS menggunakan dalih terorisme untuk mengamankan akses sumber daya dan melemahkan kompetitor seperti Rusia dan China di kawasan.
Dampak dari rencana ini terhadap warga sipil di Timur Tengah sangat tragis, dengan jutaan korban jiwa dan pengungsi dari Irak hingga Suriah. Di Irak saja, invasi 2003 menyebabkan ratusan ribu kematian sipil secara langsung dan jutaan secara tidak langsung.
Invasi juga menyebabkan destabilisasi yang berlangsung hingga kini. Suriah, yang menjadi medan perang proxy antara AS, Rusia, Iran, dan Turki, melihat jutaan warganya mengungsi, dengan ekonomi yang hancur total pasca-jatuhnya Assad.
Libya pasca-Gaddafi menjadi negara gagal dengan perang saudara berkepanjangan, sementara Somalia terus bergelut dengan kelompok seperti Al-Shabaab yang justru menguat karena intervensi asing, utamanya setelah intervensi Ethiopia.
Kritikus seperti Clark memperingatkan bahwa pendekatan ini mirip dengan taktik Perang Dingin, di mana AS mengabaikan konsekuensi jangka panjang demi keuntungan strategis jangka pendek.
Dalam bukunya "Winning Modern Wars" pada 2003, Clark sudah memprediksi bahwa invasi Irak akan membuka kotak Pandora, yang terbukti dengan terbentuknya ISIS. Namun, pemerintahan AS berturut-turut tetap melanjutkan pola ini, dengan dalih keamanan nasional dan perang melawan teror.
Pada 2025, dengan pemerintahan Trump yang kembali berkuasa, kerjasama dengan Suriah baru menunjukkan adaptasi strategi, tapi esensi dari Clean Break tetap ada: mendominasi kawasan melalui campur tangan.
Adopsi memo Clean Break oleh AS juga mencerminkan hubungan erat antara kebijakan luar negeri Washington dan kepentingan Israel, di mana ancaman terhadap Yerusalem sering dijadikan justifikasi untuk intervensi.
Dokumen 1996 itu menyarankan Israel untuk menyerang Suriah terlebih dahulu, tapi AS mengambil alih peran itu melalui sanksi dan dukungan oposisi. Hubungan ini semakin kuat dengan lobi pro-Israel seperti AIPAC yang mendukung rencana regime change dan pembunuhan massal kepada warga di negara-negara Arab sebagai collateral damage yang disengaja.
Meski demikian, hasilnya sering kontraproduktif, seperti penguatan Hizbullah di Lebanon akibat kekacauan regional dan Houthi di Yaman.
Di era digital, bocoran seperti WikiLeaks dan pengakuan Clark telah membuka mata publik global terhadap rencana rahasia ini, memicu perdebatan tentang etika intervensi asing.
Pada akhirnya, memo Clean Break dan turunannya seperti memo Pentagon 2001 menunjukkan bagaimana kebijakan satu negara bisa mengubah nasib seluruh kawasan. Dari visi 1996 hingga realitas 2025, Timur Tengah telah menjadi arena perang abadi, memanfaatkan kebuntuan DK PBB, untuk membunuh warga Arab tak berdosa dengan dalih collateral damage atau tanpa dalih.
AS tetap mempertahankan pengaruhnya, seperti melalui pangkalan di Suriah timur yang mengamankan minyak. Kritik Trump terhadap pendahulunya justru ironis, karena pemerintahannya juga melanjutkan strategi yang sama.
Masa depan kawasan ini tetap tidak pasti, dengan potensi rencana terselubung lain dari AS seperti perdamaian di Gaza, Palestina yang ternyata hanya jeda genosida. Kini pengungsi Gaza tetap dibantai oleh Israel setiap hari meski tak menjadi headline media global.
Rencana tujuh negara Clark hampir selesai, dengan Suriah dan Libya sudah "diubah", dengan biaya korban manusia yang mahal. Somalia dan Sudan terus menjadi hotspot, sementara Lebanon bergantung pada dinamika Hizbullah. Bagi Suriah pasca-Assad, kerjasama dengan AS mungkin membawa stabilitas sementara, tapi juga ketergantungan yang bisa memicu resistensi baru.
Dalam konteks global, strategi ini telah mengubah persepsi dunia terhadap AS, dari pembebas menjadi penjajah di mata banyak orang.
Artikel ini menggali akar sejarah untuk memahami mengapa Timur Tengah terus bergolak, dari memo 1996 hingga hari ini. Clean Break bukan hanya dokumen lama, tapi fondasi bagi kebijakan yang telah merenggut jutaan nyawa. Akhirnya, apakah rencana memo itu sudah berhasil? Jawabannya tergantung perspektif: keamanan bagi AS dan Israel, tapi jumlah warga sipil Arab yang sudah tewas dan terdampak sejak 1996 dan sejak runtuhnya Uni Soviet, akhir Perang Dingin, sudah sangat masif; 10-20 juta orang lebih.
0 comments:
Post a Comment