Thursday, 4 September 2025

Surat Kepemilikan Jadi Kendala Pulang Pengungsi Suriah

Empat belas tahun perang membuat distrik Qaboun di Damaskus hancur hampir total. Lebih dari 80 persen wilayahnya rata dengan tanah, meninggalkan reruntuhan yang sulit dikenali. Di balik kehancuran itu, para pengungsi yang ingin kembali menghadapi tantangan besar, bukan hanya soal biaya rekonstruksi, tetapi juga urusan surat-surat kepemilikan properti yang hilang selama perang.

Banyak keluarga kehilangan dokumen penting mereka saat melarikan diri. Akta tanah, bukti kepemilikan rumah, hingga surat izin bangunan lenyap terbakar atau tertinggal di daerah konflik. Padahal, pemerintah menuntut bukti kepemilikan untuk memberikan izin membangun kembali. Hal ini membuat kepulangan seolah menjadi mimpi sulit diwujudkan.

Namun, sejumlah skenario baru mulai dibicarakan untuk mencari jalan keluar. Salah satu yang paling realistis adalah penggunaan keterangan saksi dari tetangga, ketua RT, atau pejabat lokal. Dengan sistem ini, seorang pengungsi tetap bisa membuktikan kepemilikan rumah meski dokumen asli sudah tidak ada.

Praktik semacam ini bukan hal baru di dunia. Dalam banyak kasus bencana, negara lain pernah menggunakan sistem kesaksian untuk mengembalikan hak masyarakat. Misalnya di Indonesia pascatsunami Aceh 2004, ribuan warga kehilangan sertifikat tanah. Pemerintah saat itu melibatkan tetangga dan tokoh masyarakat sebagai saksi dalam proses penerbitan ulang surat tanah.

Pengalaman serupa juga terjadi di Jepang pascagempa dan tsunami 2011. Banyak arsip hilang, tetapi pemerintah setempat membuka jalur khusus dengan mengandalkan pernyataan saksi, catatan desa, dan arsip sekunder dari lembaga keuangan. Langkah ini mempercepat proses pemulihan dan mencegah konflik kepemilikan.

Di Rwanda, setelah tragedi genosida 1994, ribuan orang kehilangan dokumen identitas dan kepemilikan tanah. Pemerintah akhirnya membuat mekanisme pengakuan berbasis komunitas. Kesaksian kolektif dari warga menjadi dasar hukum sementara sebelum dokumen baru diterbitkan. Cara ini terbukti efektif untuk mencegah sengketa berkepanjangan.

Bagi Suriah, opsi ini dinilai sangat penting mengingat besarnya kerusakan dan banyaknya keluarga yang terdampak. Jika pemerintah tetap bersikeras meminta dokumen resmi yang hilang, maka kepulangan pengungsi akan terus tertunda. Sementara itu, rumah-rumah yang rusak akan dibiarkan terbengkalai lebih lama.

Selain soal surat, tantangan lain datang dari biaya pembangunan kembali. Perkiraan mencapai 400 miliar dolar membuat rekonstruksi tampak mustahil tanpa dukungan internasional. Tetapi jika hambatan administratif seperti dokumen kepemilikan bisa diselesaikan, warga setidaknya bisa mulai membangun dengan modal swadaya.

Para pengungsi sendiri menegaskan bahwa mereka tidak mencari kemewahan, hanya ingin kembali ke rumah dan memperbaiki kehidupan. Bagi mereka, saksi tetangga yang tinggal berdampingan sejak lama sudah cukup kuat menjadi bukti siapa pemilik asli sebuah rumah. Dukungan pemerintah dalam bentuk legalisasi kesaksian akan menjadi kunci.

Di Qaboun, beberapa warga sudah mencoba memperbaiki rumah seadanya. Mereka membersihkan puing-puing, menambal dinding, dan membuat tempat tinggal sementara. Namun, tanpa dokumen resmi, mereka hidup dalam ketidakpastian. Sewaktu-waktu, bangunan yang mereka perbaiki bisa diklaim pihak lain atau dibongkar aparat.

Oleh karena itu, mekanisme saksi menjadi solusi yang tidak hanya realistis tetapi juga mendesak. Ketua RT atau tokoh lokal yang mengenal baik warganya bisa memberi keterangan sahih. Ditambah verifikasi dari kepolisian setempat, kesaksian itu bisa diangkat ke ranah hukum untuk melindungi pengungsi yang kembali.

Keterlibatan aparat keamanan juga akan memberi jaminan tambahan. Dengan verifikasi resmi, pemerintah pusat akan lebih percaya terhadap keaslian klaim warga. Hal ini bisa mengurangi konflik baru yang mungkin timbul akibat klaim ganda atas properti.

Jika mekanisme ini diterapkan, maka rekonstruksi bisa dimulai dari skala kecil. Setiap keluarga yang pulang dapat memperbaiki rumah dengan keyakinan bahwa hak mereka diakui. Seiring waktu, kawasan yang hancur perlahan akan kembali hidup.

Pemerintah Suriah sebenarnya memiliki peluang besar untuk menunjukkan niat baik melalui kebijakan semacam ini. Dengan memberi ruang bagi saksi komunitas, pemerintah akan memperlihatkan kepedulian terhadap warganya yang ingin pulang. Kebijakan inklusif seperti ini bisa mempercepat proses rekonsiliasi nasional.

Organisasi internasional juga dapat berperan mendukung skema ini. Badan PBB seperti UNHCR dan UN-Habitat sudah berpengalaman membantu negara-negara lain dalam urusan dokumen kepemilikan pascakonflik. Kehadiran mereka bisa memperkuat validitas proses dan menambah kepercayaan masyarakat.

Meski demikian, tantangan tetap ada. Beberapa pengusaha dan pihak berpengaruh yang sebelumnya diuntungkan dari penjualan besi bekas bangunan bisa menentang skema ini. Namun jika pemerintah konsisten, kepentingan segelintir orang tidak akan mampu menghalangi kepulangan ribuan pengungsi.

Skenario berbasis saksi ini juga akan mengurangi beban administratif. Proses penerbitan ulang dokumen bisa lebih cepat tanpa harus menunggu arsip lama yang sudah hilang. Dengan begitu, rekonstruksi bisa berjalan paralel dengan legalisasi kepemilikan.

Bagi pengungsi, setiap langkah kecil menuju pengakuan hak sangat berarti. Mereka sudah lama hidup dalam ketidakpastian dan pengasingan. Kesempatan untuk kembali membangun rumah, meski sederhana, adalah simbol dari kembalinya kehidupan yang normal.

Jika pengalaman negara lain menjadi acuan, Suriah bisa membuktikan bahwa rekonstruksi tidak harus menunggu sempurna. Dengan memanfaatkan kekuatan komunitas dan kesaksian warga, jalan pulang bisa dibuka. Dari puing-puing kehancuran, harapan baru akan lahir bersama rumah-rumah yang kembali berdiri.

0 comments:

Post a Comment