Wednesday, 2 July 2025

Dualisme Kepemimpinan di Kota Yerusalem


Yerusalem (Al Quds), kota suci tiga agama, hingga hari ini masih menyimpan kompleksitas politik yang tak kunjung usai. Salah satu wujud nyata dari kondisi tersebut adalah keberadaan dua otoritas yang masing-masing mengklaim kedaulatan atas kota ini, baik dari sisi administratif maupun spiritual. Di satu sisi, Israel mengangkat seorang walikota yang memiliki kuasa penuh terhadap seluruh wilayah Yerusalem, sementara di sisi lain, Otoritas Palestina juga menetapkan seorang gubernur untuk Yerusalem Timur meski tidak memiliki yurisdiksi nyata.

Saat ini, walikota Yerusalem adalah Moshe Lion, tokoh dari sayap kanan Israel yang dipercaya mengelola seluruh kota, baik bagian barat maupun timur, sejak Israel menyatukan wilayah itu secara de facto setelah Perang Enam Hari tahun 1967. Kota Yerusalem secara resmi tidak dimasukkan ke dalam salah satu provinsi administratif Israel lainnya, melainkan berdiri sebagai entitas kotamadya khusus yang langsung berada di bawah pemerintah pusat Israel, mirip seperti status “provinsi ibu kota”.

Sementara itu, Palestina menegaskan klaimnya atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan. Dalam kerangka itu, Otoritas Palestina menetapkan Adnan Ghaith sebagai Gubernur Yerusalem, mewakili simbol perlawanan dan legitimasi politik Palestina di kota yang menurut hukum internasional masih berstatus “wilayah pendudukan”. Namun, otoritas Israel tidak pernah mengakui posisi ini, bahkan menahan Ghaith dalam tahanan rumah sejak 2022 dan melarang segala bentuk aktivitas politiknya di Yerusalem.

Konflik yurisdiksi ini menjadikan posisi Gubernur Yerusalem versi Palestina lebih sebagai simbol perjuangan daripada jabatan administratif efektif. Pemerintah Israel melarang segala bentuk aktivitas resmi Otoritas Palestina di Yerusalem, termasuk pelarangan acara budaya, seminar, bahkan kehadiran organisasi sipil yang berafiliasi dengan Ramallah. Meski begitu, jabatan ini terus dipertahankan sebagai bentuk simbolik dari klaim hak atas Yerusalem Timur.

Di tengah tarik menarik dua kepemimpinan ini, ada satu lembaga lain yang turut memainkan peran sentral di Yerusalem, yakni Badan Wakaf Islam Yordania. Meski bukan bagian dari pemerintah Palestina, Yordania tetap memegang wewenang atas pengelolaan Masjid Al-Aqsa dan seluruh kompleks Al-Haram Al-Syarif. Hal ini berdasarkan kesepakatan internasional dan konsensus regional yang mengakui Yordania sebagai penjaga situs-situs suci Islam di kota tersebut.

Status Badan Wakaf Yordania sangat unik. Mereka bukan bagian dari Israel, bukan pula langsung di bawah Otoritas Palestina, tetapi memiliki mandat yang diakui oleh negara-negara Arab, PBB, dan sebagian besar komunitas internasional. Petugas wakaf Yordania bertanggung jawab dalam mengatur kegiatan ibadah, pemeliharaan masjid, serta menetapkan aturan masuk dan keluar kompleks Al-Aqsa, termasuk menolak campur tangan Israel dalam urusan keagamaan.

Namun dalam praktiknya, otoritas Israel sering kali melakukan intervensi sepihak terhadap area Al-Aqsa, termasuk pembatasan akses jemaah Muslim, penempatan polisi Israel di dalam kompleks suci, dan memberikan perlindungan terhadap kelompok pemukim Yahudi radikal yang memasuki area tersebut. Hal ini berulang kali memicu ketegangan dengan otoritas wakaf dan menjadi pemicu utama konflik di kawasan tersebut.

Situasi tersebut menggambarkan kompleksitas pengelolaan Yerusalem. Tiga aktor — walikota Israel, gubernur Palestina, dan wakaf Yordania — sama-sama terlibat dalam urusan kota ini dengan mandat yang saling bertolak belakang. Perbedaan antara “otoritas de facto” dan “legitimasi politik dan historis” menjadi benang kusut yang belum terselesaikan selama lebih dari setengah abad.

Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kota tunggal dan abadi mereka sejak pengesahan “Basic Law: Jerusalem” pada tahun 1980, meski dunia internasional menolak pengakuan tersebut. Sementara itu, PBB dan sebagian besar negara di dunia tetap menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan, yang status finalnya harus ditentukan melalui negosiasi.

Dalam pernyataan-pernyataannya, Gubernur Palestina di Yerusalem sering menegaskan bahwa kehadirannya adalah bagian dari perlawanan terhadap Israelisasi kota suci itu. Ia menyuarakan pentingnya mempertahankan identitas Arab dan Islam Yerusalem Timur, serta menolak proyek-proyek pemukiman Yahudi yang terus menggerus ruang hidup warga Palestina.

Namun akibat tekanan Israel yang terus meningkat, banyak kegiatan gubernur ini harus dilakukan diam-diam atau melalui jaringan informal. Bahkan kantor-kantor pemerintahan Palestina di Yerusalem Timur sudah lama ditutup secara paksa oleh aparat Israel. Beberapa pegawai pemerintah Palestina ditangkap hanya karena menggelar pertemuan di rumah warga atau mengibarkan bendera Palestina.

Sementara itu, posisi Moshe Lion sebagai walikota Yerusalem memberikan legitimasi administratif dan legal di bawah hukum Israel. Ia memimpin seluruh layanan publik, termasuk perizinan bangunan, transportasi, hingga pendidikan. Di bawah kepemimpinannya, banyak infrastruktur kota dikembangkan, namun warga Palestina di Yerusalem Timur mengeluhkan diskriminasi dalam anggaran, izin pembangunan, dan akses terhadap pelayanan sosial.

Di sisi lain, Badan Wakaf Yordania terus berusaha mempertahankan posisi mereka sebagai otoritas keagamaan Islam di kompleks Al-Aqsa. Meski berulang kali mendapat tekanan, mereka tetap menjalankan tugas mereka sebagai penjaga tempat suci, bahkan dalam kondisi yang sangat sulit. Peran mereka diakui sebagai bagian dari status quo sejarah yang diharapkan tidak diubah secara sepihak.

Kesimpulannya, Yerusalem berada dalam kondisi kepemimpinan yang terpecah dan penuh konflik. Walikota Israel memegang kendali penuh, gubernur Palestina bertahan sebagai simbol, dan wakaf Yordania menjaga wilayah suci. Kota ini menjadi potret nyata bagaimana politik, agama, dan sejarah saling bertabrakan dalam satu ruang geografi yang sangat sensitif.

Selama belum ada penyelesaian politik final antara Israel dan Palestina, maka realitas kepemimpinan ganda ini akan terus berlangsung. Yerusalem tetap menjadi pusat konflik identitas dan klaim kedaulatan, sekaligus kota yang mempersatukan sekaligus memisahkan. Sebuah ironi bagi tempat yang oleh banyak orang dianggap sebagai kota perdamaian.

0 comments:

Post a Comment