Pernyataan terbaru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali mengundang kecaman global setelah menyatakan bahwa “tidak akan ada Hamastan” di Gaza. Dalam pernyataan yang dirilis usai pembahasan proposal gencatan senjata baru yang didukung Amerika Serikat, Netanyahu dengan tegas menolak keberadaan Hamas dalam struktur pemerintahan Gaza di masa depan. Ia menyebut penghapusan Hamas sebagai tujuan utama dari operasi militer Israel yang telah berlangsung berbulan-bulan, dan menegaskan bahwa kemenangan penuh baru dicapai jika Hamas sepenuhnya dihancurkan.
Hamas sendiri tengah meninjau proposal gencatan senjata selama 60 hari yang disodorkan oleh mediator internasional, termasuk Mesir, Qatar, dan didukung oleh pemerintahan Donald Trump. Namun, pernyataan keras Netanyahu dinilai sebagai sinyal bahwa Israel tidak benar-benar menginginkan solusi diplomatik yang menyertakan elemen politik lokal di Gaza. Penolakan total terhadap eksistensi Hamas sebagai kelompok politik sekaligus pemerintahan de facto di Gaza menimbulkan pertanyaan besar tentang nasib dua juta lebih warga sipil yang terperangkap di dalam wilayah itu.
Istilah "Hamastan" merujuk pada Gaza yang dipimpin Hamas sejak 2007, menyusul perpecahan dengan Otoritas Palestina. Meskipun kerap dicap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan beberapa negara Barat karena kegigihan menolak penjajahan, Hamas tetap menjadi kekuatan dominan secara politik dan militer di Gaza. Penolakan Israel terhadap setiap peran Hamas dalam masa depan Gaza bukan hanya menutup pintu dialog, tetapi juga menyiratkan bahwa operasi militer brutal dan genosids akan terus berlangsung, bahkan jika gencatan senjata sementara disetujui. Tel Aviv meneruskan tradisi pendahulunya saat sukses membantai warga Palestina pada Al Nakba 1948 dengan bantuan diam-diam beberapa negara Eropa dan restu PBB. Warga Palestina diminta lapang dada atas genosida ini sebagaimana orang Palestina lapang dada menyambut dan menerima pengungsi Yahudi Eropa korban PErang Dunia II.
Sikap tak tahu diri dan bernada pasikopat ini memperkuat kekhawatiran banyak pihak bahwa strategi Israel bukan sekadar menargetkan kelompok bersenjata, tetapi mengarah pada penghancuran total struktur sosial dan pemerintahan lokal Gaza, baik dengan genosida bertahap seperti yang dilakukan pendiri Israel atau sekaligus seperti sekarang ini. Serangan yang dilakukan secara intensif dan tanpa pandang bulu selama berbulan-bulan telah menewaskan lebih dari 84.000 warga Palestina, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak yang antri bantuan. Infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air bersih, hancur lebur dalam bombardir harian.
Jika pembantaian ini terus berlanjut dengan dalih menghapus Hamas, maka komunitas internasional menghadapi tantangan moral dan hukum besar: apakah diamnya mereka sama saja dengan menyetujui genosida? Kelangsungan hidup warga Gaza kini tak hanya terancam oleh senjata, tetapi juga oleh keruntuhan total sistem pemerintahan dan layanan publik. Dengan menolak semua bentuk negosiasi yang menyertakan aktor lokal, Israel secara tidak langsung mendorong skenario kekosongan kekuasaan yang bisa menjadi dalih untuk pendudukan ulang secara permanen.
Sementara itu, di wilayah Tepi Barat, pemerintahan Palestina yang diakui secara internasional tetap berjalan dengan sistem 16 provinsi atau governorate. Salah satu yang paling berpengaruh secara ekonomi adalah Hebron, yang memiliki aktivitas perdagangan, kerajinan tangan, dan pertanian yang kuat. Di saat Gaza porak-poranda, wilayah seperti Hebron dan Ramallah justru menjadi tumpuan utama diplomasi dan bantuan internasional, meski aksesnya ke Gaza sangat terbatas karena kontrol ketat Israel.
Di sisi lain, Yerusalem menjadi titik panas tersendiri. Kota ini memiliki dua otoritas yang berjalan paralel: walikota Yerusalem versi Israel dan gubernur Yerusalem Timur yang diangkat oleh Otoritas Palestina. Walikota Yerusalem saat ini berada di bawah struktur administratif Distrik Yerusalem Israel, salah satu dari enam distrik yang ada. Di waktu bersamaan, Wakaf Islam Yordania tetap bertanggung jawab atas pengelolaan Masjid Al-Aqsa, sebuah status quo historis yang sering diperdebatkan.
Kompleksitas struktur pemerintahan di Yerusalem dan wilayah Palestina secara umum mencerminkan betapa rumitnya konflik yang terjadi. Di Israel sendiri, struktur pemerintah terdiri dari level nasional, distrik, otoritas lokal (kota, regional, dan dewan desa), hingga unit komunitas serupa RT/RW. Palestina pun memiliki hirarki serupa, dari tingkat pusat hingga desa dan kamp pengungsi, meskipun banyak keterbatasan diberlakukan akibat pendudukan dan blokade.
Namun, di Gaza, semua struktur itu tengah dihancurkan. Baik pemerintahan de facto Hamas, lembaga sipil, hingga komunitas sosial kini lumpuh. Jika Hamas benar-benar dihapus tanpa ada solusi politik yang inklusif, maka Gaza berisiko menjadi “zona abu-abu” tanpa pemerintah sah dan penuh dengan kekacauan sosial yang lebih dalam. Dalam kondisi seperti ini, warga Gaza menjadi korban utama, bukan karena mereka bersenjata, tetapi karena mereka tinggal di wilayah yang menjadi target kebijakan penghancuran total.
Apa yang disebut Netanyahu sebagai “tidak akan ada Hamastan” bisa jadi akan dikenang sejarah sebagai pernyataan awal dari babak baru genosida yang terselubung dalam retorika keamanan. Masyarakat internasional, termasuk negara-negara Islam dan PBB, menghadapi tekanan besar untuk mendesak Israel agar menyetujui proses transisi damai, bukan pembersihan wilayah secara militer. Gencatan senjata 60 hari hanya akan menjadi jeda semu jika tidak diiringi dengan komitmen politik untuk membangun Gaza yang inklusif dan berdaulat. Juga itu bisa diartikan sebagai jeda genosida yang dinormalisasi.
Tanpa pengakuan atas realitas politik lokal di Gaza, setiap rencana perdamaian hanya akan berakhir sebagai dokumen di atas kertas. Palestina membutuhkan keadilan, bukan penaklukan. Dunia harus memutuskan: apakah akan tetap menjadi saksi bisu pembantaian atau berdiri membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini dikumandangkan di forum internasional. Karena jika tidak, maka tragedi Gaza akan menjadi luka abadi dalam sejarah umat manusia.
0 comments:
Post a Comment