Soeara Asia

Baca & Lihat

Fahami

Let's read

See Here
Propaganda Belanda

Cara Mereka

Melihat Indonesia

Sangat Aneh

Baca
Feature Cause

Save Humanity

To Help Them Survive

Let's help

Donate Now
Feature Cause

Donate & Help

To Give Them a Life

Let's help

Donate Now

Daftar, Isi

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

Our Latest Blog

Thursday, 18 December 2025

Sungai Acheh, Jejak Aceh di Pulau Pinang


Kampung Sungai Acheh di Pulau Pinang menyimpan kisah panjang tentang pertemuan lintas Selat Melaka, ketika mobilitas manusia, dagang, dan budaya membentuk wajah pesisir barat Semenanjung. Nama kampung ini kerap memantik perbincangan, terutama soal sejauh mana keterkaitannya dengan Aceh dan bagaimana sejarah lokal itu berkembang dari masa ke masa.

Dalam ingatan kolektif masyarakat setempat, Sungai Acheh diyakini berhubungan dengan kedatangan orang-orang Aceh ke wilayah ini. Mereka dikenal sebagai pedagang yang singgah dan berinteraksi dengan penduduk tempatan, lalu sebagian menetap dan membaur. Dari interaksi inilah nama “Acheh” melekat pada sungai dan kawasan sekitarnya.

Jejak Aceh di Pulau Pinang bukanlah anomali. Sejak abad ke-18 dan ke-19, Selat Melaka menjadi jalur dagang utama yang menghubungkan Sumatra dan Semenanjung. Perahu-perahu dari Aceh, Minangkabau, dan pesisir Sumatra lainnya rutin berlabuh di titik-titik strategis, termasuk kawasan yang kini dikenal sebagai Sungai Acheh.

Namun, narasi yang menyebut kawasan ini sebagai pangkalan tentera Aceh untuk menyerang Johor Lama perlu ditempatkan secara hati-hati. Hingga kini, tidak ditemukan bukti sejarah yang kuat dan terdokumentasi yang mengonfirmasi keberadaan pangkalan militer Aceh di Sungai Acheh, apalagi terkait operasi penyerangan ke Johor Lama.

Sejarah mencatat konflik dan ekspedisi militer Kesultanan Aceh memang pernah terjadi di kawasan Selat Melaka pada abad ke-16. Tetapi peristiwa-peristiwa itu lebih banyak terkait Melaka dan wilayah strategis lain, bukan Pulau Pinang yang pada periode tersebut belum menjadi pusat politik atau militer.

Peninggalan fisik yang kerap disebut sebagai bukti kehadiran Aceh adalah sebuah telaga tua yang dikenal masyarakat sebagai Perigi Aceh. Telaga ini menjadi simbol memori kolektif, meski penanggalan dan siapa penggalinya belum dapat dipastikan secara akademik.

Selain telaga, terdapat pula beberapa kubur lama di sekitar kawasan kampung. Kubur-kubur ini sering dikaitkan dengan orang-orang Aceh, namun hingga kini belum ada kajian arkeologis atau epigrafis yang memastikan identitas mereka sebagai tentera atau pendatang dari Aceh.

Cerita rakyat turut memberi warna pada sejarah lokal Sungai Acheh. Salah satu kisah populer menyebut nama Sungai Chenaam berasal dari ungkapan “saya nak makan” yang dilafalkan seorang kanak-kanak ketika ayahnya mencari lokan di hutan paya bakau. Kisah ini hidup dari generasi ke generasi, meski tidak tercatat dalam sumber sejarah formal.

Versi lain yang beredar menyatakan nama Sungai Acheh merujuk pada aliran sungai yang konon mengarah ke Muara Aceh di Sumatra. Dari sisi geografi, penjelasan ini tidak dapat dibuktikan secara literal dan lebih tepat dipahami sebagai simbol hubungan lintas wilayah, bukan fakta hidrologi.

Seiring waktu, kawasan Sungai Acheh mengalami perubahan besar. Hutan paya bakau yang dulu mendominasi mulai ditata untuk kepentingan pertanian dan penempatan. Perubahan ini menandai fase baru dalam sejarah kampung, dari kawasan singgah dan rawa menjadi ruang hidup yang lebih menetap.

Pada pertengahan 1970-an, proyek pembangunan yang melibatkan Jabatan Pengairan dan Saliran bersama kerajaan negeri membuka jalan bagi pengembangan kawasan ini. Lahan-lahan yang sebelumnya sulit diakses mulai direklamasi dan diolah.

Perkembangan itu berlanjut pada awal 1980-an dengan berdirinya ratusan rumah pertama. Gelombang penempatan ini mengubah komposisi penduduk sekaligus memperkuat identitas kampung sebagai komunitas Melayu pesisir Pulau Pinang.

Program perumahan bagi keluarga berpendapatan rendah pada dekade berikutnya menambah jumlah penduduk dan memperluas kawasan hunian. Sungai Acheh pun tumbuh sebagai kampung modern tanpa sepenuhnya melepaskan ingatan masa lalunya.

Di tengah modernisasi, memori tentang Aceh tetap hidup dalam penamaan tempat dan cerita lisan. Nama “Acheh” tidak sekadar penunjuk geografis, melainkan penanda sejarah mobilitas orang dan budaya di Selat Melaka.

Bagi sejarawan, Sungai Acheh menarik karena menunjukkan bagaimana sejarah lokal sering dibangun dari lapisan fakta, ingatan, dan mitos. Tidak semua cerita dapat diverifikasi, namun semuanya mencerminkan cara masyarakat memahami asal-usul mereka.

Pendekatan kritis diperlukan agar sejarah tidak terjebak pada romantisasi tanpa bukti. Kisah tentang pangkalan tentera atau asal-usul nama yang sensasional perlu diuji dengan sumber tertulis, peta lama, dan penelitian lapangan.

Di sisi lain, cerita rakyat memiliki nilai tersendiri sebagai ekspresi identitas dan memori sosial. Kisah-kisah ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, sekaligus memperkaya khazanah budaya setempat.

Sungai Acheh pada akhirnya adalah cermin hubungan panjang antara Pulau Pinang dan dunia Sumatra. Ia menunjukkan bahwa sejarah kawasan pesisir dibentuk oleh arus dagang, migrasi, dan pertemuan budaya, bukan semata-mata oleh peristiwa militer.

Dengan menempatkan fakta dan cerita pada porsinya masing-masing, Sungai Acheh dapat dipahami secara lebih utuh. Kampung ini bukan sekadar nama di peta, melainkan ruang sejarah yang hidup, di mana jejak Aceh hadir sebagai bagian dari perjalanan panjang Selat Melaka.

Sunday, 14 December 2025

Sejarah Kudeta Merangkak Alawiyah Suriah


Sejarah kekuasaan di Suriah pada paruh kedua abad ke-20 tidak dapat dilepaskan dari apa yang kerap disebut para peneliti sebagai “kudeta merangkak”, yakni proses perebutan kekuasaan bertahap yang berlangsung senyap namun sistematis. Proses ini melibatkan elite minoritas Alawiyah yang memanfaatkan institusi militer dan partai untuk menguasai negara.

Dalam berbagai kesaksian dan kajian, termasuk yang diangkat dalam sebuah video dokumenter berbahasa Arab, dijelaskan bahwa fondasi kudeta merangkak tersebut diletakkan jauh sebelum Hafez al-Assad menjadi presiden. Strateginya bukan berupa satu kudeta terbuka, melainkan serangkaian langkah terencana yang menyingkirkan lawan politik dan sektarian secara perlahan.

Salah satu elemen kunci dari proses ini adalah pembentukan organisasi rahasia Alawiyah bernama Jam’iyyat Ali al-Murtada. Organisasi ini dipimpin oleh Jamil al-Assad, saudara Hafez al-Assad, dan berfungsi sebagai alat konsolidasi kekuasaan di tubuh militer Suriah.

Tujuan utama perkumpulan tersebut adalah membersihkan Angkatan Darat dari perwira-perwira Sunni, serta menyingkirkan perwira Druze dan Ismaili dari posisi-posisi strategis. Dengan cara ini, kendali atas angkatan udara, intelijen, dan komando militer perlahan dipusatkan di tangan perwira Alawiyah.

Seorang atase militer Uni Soviet di Damaskus bahkan menyebut organisasi ini sebagai pemerintah de facto Suriah. Dalam pandangannya, kekuasaan nyata tidak berada pada struktur formal negara, melainkan pada jaringan Alawiyah yang mengendalikan militer dan keamanan.

Akar ideologis dari strategi ini dapat ditelusuri ke sebuah pertemuan rahasia pada 1960 di Qardaha, kampung halaman keluarga Assad. Peneliti Prancis Michel Seurat mencatat bahwa pertemuan tersebut dihadiri para syekh dan perwira senior Alawiyah, dengan Hafez al-Assad sebagai tokoh sentralnya.

Dalam pertemuan itu, muncul gagasan untuk mendirikan negara Alawiyah dengan Homs sebagai ibu kota. Meski rencana ini tidak pernah diwujudkan secara formal, arah kebijakan yang diambil kemudian menunjukkan semangat penguatan identitas dan kekuasaan kelompok Alawiyah.

Keputusan lain yang diambil adalah mendorong masuknya pemuda-pemuda Alawiyah terdidik ke Partai Ba’ath dan lembaga militer. Langkah ini memastikan regenerasi elite yang loyal dan memiliki akses ke struktur kekuasaan negara.

Selain itu, didorong pula migrasi besar-besaran warga Alawiyah dari desa ke kota-kota utama seperti Homs, Latakia, dan Tartus. Migrasi ini bertujuan untuk menguasai sektor ekonomi, media, dan birokrasi, yang sebelumnya didominasi borjuis Sunni.

Momentum penting datang setelah kudeta Ba’ath pada Maret 1963. Dalam waktu singkat, sekitar 700 perwira diberhentikan dari Angkatan Darat, dan hampir separuhnya digantikan oleh perwira Alawiyah yang dianggap lebih loyal.

Perwira Sunni yang masih bertahan umumnya dipindahkan ke garis depan melawan Israel atau ke pos-pos terpencil. Sementara itu, kendali strategis atas Damaskus dan pusat kekuasaan tetap berada di tangan jaringan militer Alawiyah.

Pembersihan serupa juga menyasar perwira Druze dan Ismaili, terutama dari unit-unit sensitif. Dengan demikian, pluralitas sektarian di tubuh militer Suriah semakin terkikis.

Puncak dari proses kudeta merangkak ini terjadi pada 1970, ketika Hafez al-Assad merebut kekuasaan penuh dan menjadi presiden. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Suriah modern, jabatan presiden dipegang oleh seorang Alawiyah.

Secara terbuka, Hafez al-Assad menampilkan diri sebagai nasionalis Arab dan pemimpin sekuler. Namun di balik layar, ia tetap menjalin hubungan erat dengan para syekh Alawiyah dan mengonsolidasikan basis sektariannya.

Dalam pertemuan tertutup di Latakia, Assad mendorong elite Alawiyah untuk meninggalkan desa, menjadi pengusaha, dan bersaing langsung dengan borjuis Sunni. Strategi ini memperluas dominasi Alawiyah dari militer ke ranah ekonomi.

Menyadari posisi Alawiyah sebagai minoritas kecil, Assad juga membangun aliansi ideologis dan geopolitik dengan Iran. Ratusan mahasiswa Alawiyah dikirim ke Qom untuk mempelajari fikih Syiah Ja’fari, sebagai bagian dari upaya mencari legitimasi keagamaan.

Dari sinilah terbentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Poros Syiah, yang membentang dari Lebanon hingga kawasan timur Iran. Poros ini menjadi penopang strategis rezim Suriah dalam menghadapi tekanan regional dan internal.

Di tingkat internasional, Assad mengamankan dukungan Uni Soviet melalui perjanjian persahabatan dan kerja sama militer. Pada saat yang sama, ia tetap menjaga hubungan pragmatis dengan negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang disebut-sebut menjadi salah satu sumber pendanaan rezim.

Untuk meredam kritik ulama Sunni atas status keagamaannya, Hafez al-Assad mengubah sumpah jabatan presiden menjadi sumpah Islam dan menampilkan diri sebagai pelindung Islam. Langkah ini bersifat simbolik namun penting secara politik.

Tekanan dari kalangan ulama akhirnya menghasilkan kompromi konstitusional, yakni pencantuman pasal bahwa presiden Suriah harus beragama Islam. Dengan demikian, kudeta merangkak Alawiyah tidak hanya menguasai negara, tetapi juga membentuk ulang wajah politik dan identitas Suriah hingga hari ini.

Rahasia Memo Israel: Rencana AS Hancurkan Timur Tengah


Memo Clean Break yang dirilis pada 1996 awalnya ditujukan untuk membantu Israel mengamankan posisinya di kawasan Timur Tengah dengan strategi agresif terhadap negara-negara tetangga.

Dokumen ini, yang disusun oleh sekelompok pakar neokonservatif seperti Richard Perle dan Douglas Feith, menyarankan Israel untuk memutus hubungan dengan proses perdamaian Oslo (terkait Palestina) dan fokus pada operasi teror dan pelemahan mehara-negara Arab sekitar seperti Suriah, Irak, dan Iran melalui tindakan militer preventif dengan menggunakan modus lama terzalimi di PBB.

Ide ini menekankan pentingnya mengubah keseimbangan kekuatan regional demi kepentingan Israel, termasuk dengan mendukung oposisi internal di negara-negara tersebut untuk memicu perubahan rezim, dan pembunuhan massal kepada warganya (Collateral Damage yang disengaja) sebagaimana terjadi di Irak dan Suriah belakangan. 

Meski awalnya untuk Israel, memo ini segera diadopsi oleh kalangan pembuat kebijakan di Amerika Serikat, dengan langkah awal menciptakan serangan 11 September 2001 yang memberikan momentum baru bagi strategi serupa.

Para neokonservatif yang terlibat dalam memo itu kemudian menduduki posisi kunci di pemerintahan George W. Bush, seperti Perle di Dewan Kebijakan Pertahanan dan Feith sebagai Wakil Menteri Pertahanan, sehingga ide Clean Break menjadi blueprint bagi kebijakan luar negeri AS.Adopsi memo Clean Break oleh AS menandai pergeseran dari diplomasi ke pendekatan militer yang lebih langsung, di mana Washington melihat Timur Tengah sebagai arena untuk mendominasi sumber daya dan melemahkan ancaman potensial. 

Pada November 2001, hanya dua bulan setelah 9/11, Jenderal Wesley Clark, mantan panglima NATO, mengungkapkan bahwa ia melihat memo rahasia Pentagon yang merinci rencana untuk menargetkan tujuh negara dalam lima tahun: Irak, Suriah, Lebanon, Libya, Somalia, Sudan, dan Iran. Memo ini, di bawah arahan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld, bukanlah respons spontan terhadap terorisme, melainkan kelanjutan dari visi neokonservatif yang sudah ada sejak 1990-an. 

Clark, dalam wawancaranya kemudian, menekankan bahwa rencana ini sudah beredar sebelum 9/11, dan serangan itu hanya dijadikan alasan untuk mempercepat eksekusi. Irak dipilih sebagai target pertama karena dianggap sebagai pintu masuk strategis untuk mengontrol minyak dan melemahkan pengaruh Iran di kawasan.

Invasi AS ke Irak pada Maret 2003 menjadi manifestasi pertama dari rencana besar tersebut, dengan dalih senjata pemusnah massal yang ternyata tidak terbukti.

Pemerintahan Bush mengklaim operasi itu untuk membawa demokrasi, tapi kritik seperti Clark melihatnya sebagai langkah awal dalam daftar tujuh negara. Kekacauan pasca-invasi, termasuk pembubaran tentara Irak dan konflik sektarian Sunni-Syiah, justru melahirkan kelompok seperti Al-Qaeda in Iraq (AQI) yang dipimpin Abu Musab al-Zarqawi. Sebelum invasi AS, Irak tak punya Al-Qaeda, dan Al-Qaeda adalah mitra AS membendung Uni Soviet di Afghanistan era Perang Dingin.

AQI kemudian dievolusi menjadi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), memanfaatkan kekacauan (controlled instability) yang diciptakan oleh intervensi AS. 

Meski AS kehilangan ribuan nyawa tentara dan triliunan dolar, invasi ini berhasil mengganti rezim Saddam Hussein, sejalan dengan tujuan mewujudkan memo Clean Break untuk mengubah peta kekuatan regional di Timur Tengah.

Setelah Irak, AS mengincar Suriah dkk dimulai dengan tekanan terhadap Suriah melalui sanksi ekonomi seperti Syria Accountability Act 2003, yang membatasi perdagangan dan bantuan.

Dokumen WikiLeaks dari 2006 mengungkapkan bahwa kedutaan AS di Damaskus sudah merencanakan destabilisasi rezim Bashar al-Assad dengan mendukung oposisi internal dan memanfaatkan ketegangan sektarian. 

Rencana ini mencakup dukungan rahasia untuk kelompok pemberontak, meski secara resmi AS menyangkal keterlibatan langsung. Libya menjadi target berikutnya pada 2011 (Proyek Musim Semi Arab), ketika intervensi NATO yang didukung AS menggulingkan Muammar Gaddafi dengan dalih perlindungan sipil berdasarkan resolusi PBB. Kekacauan atau controlled instability Libya pasca-Gaddafi, dibuat mirip dengan Irak, untuk memperkuat memperkuat kelompok kelompok binaan AS dkk lainnya di kawasan Sahel.

Perang Saudara Suriah yang meletus pada 2011 akhirnya sukses memberikan peluang bagi AS untuk menerapkan rencana lama terhadap Damaskus; invasi dan pendudukan di timur Suriah sampai sekarang.

Dukungan AS terhadap oposisi moderat selain di belakang layar juga mendukung yabg radikal, termasuk pasokan senjata melalui CIA, dimaksudkan untuk melemahkan Assad dan memutus koridor pengaruh Iran ke Lebanon. 

Munculnya ISIS pada 2013-2014, yang merebut wilayah luas di Irak dan Suriah, menjadi pretext sempurna untuk intervensi militer AS langsung di Suriah. Operation Inherent Resolve diluncurkan pada September 2014, dengan dalih memerangi ISIS, meski target utama tetap melemahkan rezim Assad secara tidak langsung.

ISIS, yang berakar dari kekacauan pasca-invasi Irak, menjadi alat bagi AS untuk memperluas kehadiran militernya di Suriah tanpa invasi penuh (invasi merangkak).

Koalisi internasional yang dipimpin AS melakukan ribuan serangan udara sebagian besar menarget warga sipjl sebagai collateral damage yang disengaja, juga bekerja sama dengan Syrian Democratic Forces (SDF) yang didominasi kelompok teroris PKK Kurdi dari Turki yang sudah lama ada. SDF buatan AS ini yang diplot untuk baku hantam dan saling bunuh dengan ISiS yang diciptakan AS sebelumnya di Irak. 

Kritik seperti yang disampaikan Donald Trump selama kampanye 2016 menuduh Barack Obama dan Hillary Clinton sebagai "pendiri" ISIS karena kebijakan penarikan pasukan dari Irak pada 2011 yang menciptakan kekosongan. Meski Trump kemudian mengklarifikasi itu sebagai sarkasme, tuduhan itu mencerminkan pandangan bahwa kebijakan AS secara tidak sengaja—orang bilang sengaja—membantu berdirinya ISIS. Menurut Edward Snowden, ISIS memang sengaja didirikan oleh AS, sebagaimana pernah dilakukan oleh pegawai Yahudi di Jerman Baron Max von Oppenheim di Perang Dunia Pertama.

Pada 2019, ISIS secara teritorial 'dikalahkan' di Suriah, tapi sel-sel tidurnya tetap aktif, memberikan alasan bagi AS untuk mempertahankan sekitar 900 tentara di timur laut Suriah hingga 2025.

Jatuhnya rezim Assad pada akhir 2024, setelah pemberontakan besar-besaran, seolah melengkapi rencana lama dari memo Clean Break. Israel memperluas pendudukan ilegalnya di Suriah selatan di luar Dataran Tinggi Golan kini sedang dalam upaya meneror Damaskus untuk menyerahkan kendali Suriah Selatan dalam ambisi proyek neo kolonialisme Greater Israel. 

Tel Aviv telah melakukan 600-an serangan udara dan membantai ratusan orang sejak setahun pemerintahan baru. Semua dilakukan di depan mata DK PBB, selain genosida Israel kepada warga Palestina di Gaza yang masih berlangsung hingga kini.

Memo Pentagon 2001 yang diungkap Clark ternyata tidak sepenuhnya terealisasi dalam lima tahun, tapi pola regime change tetap berlanjut. Lebanon mengalami tekanan melalui dukungan AS terhadap faksi anti-Hizbullah, sementara Somalia dan Sudan menjadi target serangan drone anti-teror sejak 2000-an. Hingga kini Sudan dilanda perang sesama yang terkait secara tidak langsung dengan isi memo itu.

Iran tetap menjadi sasaran akhir, dengan sanksi ekonomi yang semakin ketat di era Trump dan Biden, dan serangan AS-Israel baru-baru ini yang memicu serangan balik dari Tehran ke beberapa target Tel Aviv. 

Strategi ini sering dikritik sebagai neo-imperialisme, di mana AS menggunakan dalih terorisme untuk mengamankan akses sumber daya dan melemahkan kompetitor seperti Rusia dan China di kawasan.

Dampak dari rencana ini terhadap warga sipil di Timur Tengah sangat tragis, dengan jutaan korban jiwa dan pengungsi dari Irak hingga Suriah. Di Irak saja, invasi 2003 menyebabkan ratusan ribu kematian sipil secara langsung dan jutaan secara tidak langsung. 

Invasi juga menyebabkan destabilisasi yang berlangsung hingga kini. Suriah, yang menjadi medan perang proxy antara AS, Rusia, Iran, dan Turki, melihat jutaan warganya mengungsi, dengan ekonomi yang hancur total pasca-jatuhnya Assad.

Libya pasca-Gaddafi menjadi negara gagal dengan perang saudara berkepanjangan, sementara Somalia terus bergelut dengan kelompok seperti Al-Shabaab yang justru menguat karena intervensi asing, utamanya setelah intervensi Ethiopia.

Kritikus seperti Clark memperingatkan bahwa pendekatan ini mirip dengan taktik Perang Dingin, di mana AS mengabaikan konsekuensi jangka panjang demi keuntungan strategis jangka pendek.

Dalam bukunya "Winning Modern Wars" pada 2003, Clark sudah memprediksi bahwa invasi Irak akan membuka kotak Pandora, yang terbukti dengan terbentuknya ISIS. Namun, pemerintahan AS berturut-turut tetap melanjutkan pola ini, dengan dalih keamanan nasional dan perang melawan teror. 

Pada 2025, dengan pemerintahan Trump yang kembali berkuasa, kerjasama dengan Suriah baru menunjukkan adaptasi strategi, tapi esensi dari Clean Break tetap ada: mendominasi kawasan melalui campur tangan.

Adopsi memo Clean Break oleh AS juga mencerminkan hubungan erat antara kebijakan luar negeri Washington dan kepentingan Israel, di mana ancaman terhadap Yerusalem sering dijadikan justifikasi untuk intervensi.

Dokumen 1996 itu menyarankan Israel untuk menyerang Suriah terlebih dahulu, tapi AS mengambil alih peran itu melalui sanksi dan dukungan oposisi. Hubungan ini semakin kuat dengan lobi pro-Israel seperti AIPAC yang mendukung rencana regime change dan pembunuhan massal kepada warga di negara-negara Arab sebagai collateral damage yang disengaja. 

Meski demikian, hasilnya sering kontraproduktif, seperti penguatan Hizbullah di Lebanon akibat kekacauan regional dan Houthi di Yaman.

Di era digital, bocoran seperti WikiLeaks dan pengakuan Clark telah membuka mata publik global terhadap rencana rahasia ini, memicu perdebatan tentang etika intervensi asing. 

Pada akhirnya, memo Clean Break dan turunannya seperti memo Pentagon 2001 menunjukkan bagaimana kebijakan satu negara bisa mengubah nasib seluruh kawasan. Dari visi 1996 hingga realitas 2025, Timur Tengah telah menjadi arena perang abadi, memanfaatkan kebuntuan DK PBB, untuk membunuh warga Arab tak berdosa dengan dalih collateral damage atau tanpa dalih.

AS tetap mempertahankan pengaruhnya, seperti melalui pangkalan di Suriah timur yang mengamankan minyak. Kritik Trump terhadap pendahulunya justru ironis, karena pemerintahannya juga melanjutkan strategi yang sama.

Masa depan kawasan ini tetap tidak pasti, dengan potensi rencana terselubung lain dari AS seperti perdamaian di Gaza, Palestina yang ternyata hanya jeda genosida. Kini pengungsi Gaza tetap dibantai oleh Israel setiap hari meski tak menjadi headline media global.

Rencana tujuh negara Clark hampir selesai, dengan Suriah dan Libya sudah "diubah", dengan biaya korban manusia yang mahal. Somalia dan Sudan terus menjadi hotspot, sementara Lebanon bergantung pada dinamika Hizbullah. Bagi Suriah pasca-Assad, kerjasama dengan AS mungkin membawa stabilitas sementara, tapi juga ketergantungan yang bisa memicu resistensi baru.

Dalam konteks global, strategi ini telah mengubah persepsi dunia terhadap AS, dari pembebas menjadi penjajah di mata banyak orang.

Artikel ini menggali akar sejarah untuk memahami mengapa Timur Tengah terus bergolak, dari memo 1996 hingga hari ini. Clean Break bukan hanya dokumen lama, tapi fondasi bagi kebijakan yang telah merenggut jutaan nyawa. Akhirnya, apakah rencana memo itu sudah berhasil? Jawabannya tergantung perspektif: keamanan bagi AS dan Israel, tapi jumlah warga sipil Arab yang sudah tewas dan terdampak sejak 1996 dan sejak runtuhnya Uni Soviet, akhir Perang Dingin,  sudah sangat masif; 10-20 juta orang lebih.

Monday, 15 September 2025

Upaya Asing Menjadikan Suriah seperti Bosnia dengan Federasi Negara Mini

Suriah kini diperkirakan telah menjadi negara dengan federasi 'negara mini' akibat campur tangan dan intervensi asing.

Wilayah yang berada di bawah kendali Pasukan Demokratik Suriah (SDF) misalnya kian menunjukkan wajahnya sebagai sebuah entitas politik atau negara mini tersendiri. Struktur pemerintahan yang mereka bangun sudah menyerupai model negara dalam negara, dengan sistem region atau kanton yang dipimpin oleh figur setingkat perdana menteri. Pola ini mengingatkan pada sistem yang diterapkan di Bosnia-Herzegovina pascaperang, di mana kekuasaan dibagi dalam kerangka otonomi yang luas.

Sejak beberapa tahun terakhir, SDF dan Dewan Suriah Demokratik (MSD/SDC) yang menjadi payung politiknya, telah membagi kawasan timur laut Suriah menjadi beberapa region atau canton. Jazira, Eufrat, Raqqa, Tabqa, hingga Deir ez-Zor memiliki struktur pemerintahan lokal yang nyaris lengkap, mulai dari dewan legislatif, eksekutif, hingga posisi perdana menteri regional.

Model ini memberi legitimasi politik bagi SDF, meski secara formal mereka belum diakui Damaskus maupun komunitas internasional. Namun, dalam praktik sehari-hari, masyarakat di wilayah ini sudah hidup dalam sebuah sistem yang berbeda dari rezim pusat Suriah. Mereka memiliki aparat keamanan, pasukan militer, hingga sistem hukum tersendiri.

Di Jazira, misalnya, Akram Hesso pernah menjabat sebagai perdana menteri regional. Ia bekerja bersama Elizabeth Gawrie dan Hussein Taza Al Azam sebagai wakil perdana menteri. Hal ini menunjukkan bahwa struktur pemerintahan tidak hanya ada di atas kertas, tetapi benar-benar berjalan.

Sementara itu, Region Eufrat dipimpin oleh Enver Muslim, dengan Bêrîvan Hesen dan Xalid Birgil sebagai deputi. Pembagian kekuasaan ini membuktikan bahwa SDF membangun kerangka politik multi-etnis, yang tidak hanya diisi oleh orang Kurdi, tetapi juga Arab dan minoritas lain. Tapi itu di atas kertas, sebenarnya adalah semua posisi penting di SDF dipegang YPG Kurdi dan kursi YPG didominasi orang yang ditunjuk oleh PKK yang dianggap sebagai kelompok teroris oleh Turki.

Raqqa dan Tabqa pun diproyeksikan memiliki struktur serupa, meski jabatan formal perdana menteri regional belum terisi. Namun, administrasi sipil yang mengelola kedua wilayah ini tetap menjalankan fungsi pemerintahan, mulai dari layanan publik hingga urusan ekonomi.

Kehadiran sistem region ini semakin menegaskan bahwa SDF tidak menerapkan sistem yang biasa seperti provinsi, kabupaten dll. Di bawah payung otonomi, mereka ingin menunjukkan bahwa masyarakat bisa hidup tanpa ketergantungan langsung pada Damaskus.

Presiden Suriah Ahmed Al-Shara, dalam wawancaranya baru-baru ini, menyinggung fenomena ini dengan nada hati-hati. Ia mengakui bahwa selama ini Israel dkk ingin mengubah Suriah menjadi federasi negara mini 

Menurut Al-Shara, klaim Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa jatuhnya rezim Assad dipicu oleh manuver Israel adalah keliru. Justru semua itu atas kegigihan rakyat Suriah sendiri.

Ia menambahkan bahwa Israel sempat berharap Suriah akan terpecah menjadi kanton-kanton yang saling bermusuhan. Seperti Alawite yang berkuasa di Damaskus Latakia dan Tartus era Bashar Al Assad, pemerintaha SDF Kurdi di Timur Suriah, pemerintahan penyelamat SG di Idlib dan interim SIG di Azaz sebagaimana era Assad.

Negosiasi yang sedang berlangsung antara Damaskus dan Israel untuk menghidupkan kembali perjanjian 1974 dianggap Al-Shara sebagai fase sensitif. Ia menekankan pentingnya kesepakatan keamanan agar wilayah Suriah tidak dijadikan ajang percobaan geopolitik, seperti yang dikhawatirkan terjadi di wilayah SDF.

Meski demikian, struktur pemerintahan SDF sulit diabaikan. Dengan adanya perdana menteri regional, dewan legislatif, dan administrasi sipil, wilayah ini berjalan seolah-olah sebagai negara bagian dengan otonomi penuh.

Salah satu kekuatan utama SDF adalah kemampuannya menggabungkan militer dan politik. Pasukan bersenjata mereka tidak hanya menjaga keamanan, tetapi juga menopang legitimasi pemerintahan. Ini menjadikan mereka pemain yang sulit digeser, bahkan oleh Damaskus sekalipun.

Bagi masyarakat lokal, keberadaan pemerintahan regional memberi rasa stabilitas. Mereka tidak lagi sepenuhnya bergantung pada birokrasi Damaskus, yang selama bertahun-tahun dianggap abai terhadap kebutuhan kawasan timur laut.

Namun, model ini juga menimbulkan pertanyaan besar. Apakah sistem region ala Bosnia ini akan permanen? Ataukah hanya menjadi fase transisi sebelum integrasi penuh dengan pemerintahan Suriah?

Beberapa pengamat menilai bahwa struktur negara dalam negara ini bisa menjadi pintu masuk bagi federalisme di Suriah. Tetapi, hal itu berlawanan dengan visi Suriah yang bernuansa persatuan.

Rusia, sebagai salah satu aktor besar di Suriah, tampaknya melihat peluang menjadikan sistem region sebagai bagian dari solusi rekonsiliasi politik. Jika berhasil, wilayah SDF bisa menjadi model baru dalam menyatukan Suriah tanpa harus memaksakan sistem tunggal.

Meski begitu, skeptisisme tetap ada. Israel, misalnya, memandang struktur SDF sebagai celah untuk menciptakan perpecahan di Suriah. Al-Shara menegaskan bahwa negaranya tidak akan membiarkan rencana semacam itu berkembang lebih jauh.

Kini, masa depan wilayah SDF berada di persimpangan. Apakah mereka akan terus berkembang sebagai negara dalam negara, atau akhirnya melebur ke dalam struktur Suriah yang lebih luas, masih menjadi tanda tanya besar. Namun satu hal jelas: SDF telah menegaskan dirinya sebagai kekuatan politik dan militer yang tidak bisa diabaikan.