Soeara Asia

Baca & Lihat

Fahami

Let's read

See Here
Propaganda Belanda

Cara Mereka

Melihat Indonesia

Sangat Aneh

Baca
Feature Cause

Save Humanity

To Help Them Survive

Let's help

Donate Now
Feature Cause

Donate & Help

To Give Them a Life

Let's help

Donate Now

Daftar, Isi

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

  • Medecins du Monde Jane Addams reduce

Our Latest Blog

Wednesday, 2 July 2025

Netanyahu Tolak "Hamastan", Genosida Gaza Berlanjut


Pernyataan terbaru Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu kembali mengundang kecaman global setelah menyatakan bahwa “tidak akan ada Hamastan” di Gaza. Dalam pernyataan yang dirilis usai pembahasan proposal gencatan senjata baru yang didukung Amerika Serikat, Netanyahu dengan tegas menolak keberadaan Hamas dalam struktur pemerintahan Gaza di masa depan. Ia menyebut penghapusan Hamas sebagai tujuan utama dari operasi militer Israel yang telah berlangsung berbulan-bulan, dan menegaskan bahwa kemenangan penuh baru dicapai jika Hamas sepenuhnya dihancurkan.

Hamas sendiri tengah meninjau proposal gencatan senjata selama 60 hari yang disodorkan oleh mediator internasional, termasuk Mesir, Qatar, dan didukung oleh pemerintahan Donald Trump. Namun, pernyataan keras Netanyahu dinilai sebagai sinyal bahwa Israel tidak benar-benar menginginkan solusi diplomatik yang menyertakan elemen politik lokal di Gaza. Penolakan total terhadap eksistensi Hamas sebagai kelompok politik sekaligus pemerintahan de facto di Gaza menimbulkan pertanyaan besar tentang nasib dua juta lebih warga sipil yang terperangkap di dalam wilayah itu.

Istilah "Hamastan" merujuk pada Gaza yang dipimpin Hamas sejak 2007, menyusul perpecahan dengan Otoritas Palestina. Meskipun kerap dicap sebagai organisasi teroris oleh Israel dan beberapa negara Barat karena kegigihan menolak penjajahan, Hamas tetap menjadi kekuatan dominan secara politik dan militer di Gaza. Penolakan Israel terhadap setiap peran Hamas dalam masa depan Gaza bukan hanya menutup pintu dialog, tetapi juga menyiratkan bahwa operasi militer brutal dan genosids akan terus berlangsung, bahkan jika gencatan senjata sementara disetujui. Tel Aviv meneruskan tradisi pendahulunya saat sukses membantai warga Palestina pada Al Nakba 1948 dengan bantuan diam-diam beberapa negara Eropa dan restu PBB. Warga Palestina diminta lapang dada atas genosida ini sebagaimana orang Palestina lapang dada menyambut dan menerima pengungsi Yahudi Eropa korban PErang Dunia II.

Sikap tak tahu diri dan bernada pasikopat ini memperkuat kekhawatiran banyak pihak bahwa strategi Israel bukan sekadar menargetkan kelompok bersenjata, tetapi mengarah pada penghancuran total struktur sosial dan pemerintahan lokal Gaza, baik dengan genosida bertahap seperti yang dilakukan pendiri Israel atau sekaligus seperti sekarang ini. Serangan yang dilakukan secara intensif dan tanpa pandang bulu selama berbulan-bulan telah menewaskan lebih dari 84.000 warga Palestina, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak yang antri bantuan. Infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, sekolah, dan fasilitas air bersih, hancur lebur dalam bombardir harian.

Jika pembantaian ini terus berlanjut dengan dalih menghapus Hamas, maka komunitas internasional menghadapi tantangan moral dan hukum besar: apakah diamnya mereka sama saja dengan menyetujui genosida? Kelangsungan hidup warga Gaza kini tak hanya terancam oleh senjata, tetapi juga oleh keruntuhan total sistem pemerintahan dan layanan publik. Dengan menolak semua bentuk negosiasi yang menyertakan aktor lokal, Israel secara tidak langsung mendorong skenario kekosongan kekuasaan yang bisa menjadi dalih untuk pendudukan ulang secara permanen.

Sementara itu, di wilayah Tepi Barat, pemerintahan Palestina yang diakui secara internasional tetap berjalan dengan sistem 16 provinsi atau governorate. Salah satu yang paling berpengaruh secara ekonomi adalah Hebron, yang memiliki aktivitas perdagangan, kerajinan tangan, dan pertanian yang kuat. Di saat Gaza porak-poranda, wilayah seperti Hebron dan Ramallah justru menjadi tumpuan utama diplomasi dan bantuan internasional, meski aksesnya ke Gaza sangat terbatas karena kontrol ketat Israel.

Di sisi lain, Yerusalem menjadi titik panas tersendiri. Kota ini memiliki dua otoritas yang berjalan paralel: walikota Yerusalem versi Israel dan gubernur Yerusalem Timur yang diangkat oleh Otoritas Palestina. Walikota Yerusalem saat ini berada di bawah struktur administratif Distrik Yerusalem Israel, salah satu dari enam distrik yang ada. Di waktu bersamaan, Wakaf Islam Yordania tetap bertanggung jawab atas pengelolaan Masjid Al-Aqsa, sebuah status quo historis yang sering diperdebatkan.

Kompleksitas struktur pemerintahan di Yerusalem dan wilayah Palestina secara umum mencerminkan betapa rumitnya konflik yang terjadi. Di Israel sendiri, struktur pemerintah terdiri dari level nasional, distrik, otoritas lokal (kota, regional, dan dewan desa), hingga unit komunitas serupa RT/RW. Palestina pun memiliki hirarki serupa, dari tingkat pusat hingga desa dan kamp pengungsi, meskipun banyak keterbatasan diberlakukan akibat pendudukan dan blokade.

Namun, di Gaza, semua struktur itu tengah dihancurkan. Baik pemerintahan de facto Hamas, lembaga sipil, hingga komunitas sosial kini lumpuh. Jika Hamas benar-benar dihapus tanpa ada solusi politik yang inklusif, maka Gaza berisiko menjadi “zona abu-abu” tanpa pemerintah sah dan penuh dengan kekacauan sosial yang lebih dalam. Dalam kondisi seperti ini, warga Gaza menjadi korban utama, bukan karena mereka bersenjata, tetapi karena mereka tinggal di wilayah yang menjadi target kebijakan penghancuran total.

Apa yang disebut Netanyahu sebagai “tidak akan ada Hamastan” bisa jadi akan dikenang sejarah sebagai pernyataan awal dari babak baru genosida yang terselubung dalam retorika keamanan. Masyarakat internasional, termasuk negara-negara Islam dan PBB, menghadapi tekanan besar untuk mendesak Israel agar menyetujui proses transisi damai, bukan pembersihan wilayah secara militer. Gencatan senjata 60 hari hanya akan menjadi jeda semu jika tidak diiringi dengan komitmen politik untuk membangun Gaza yang inklusif dan berdaulat. Juga itu bisa diartikan sebagai jeda genosida yang dinormalisasi.

Tanpa pengakuan atas realitas politik lokal di Gaza, setiap rencana perdamaian hanya akan berakhir sebagai dokumen di atas kertas. Palestina membutuhkan keadilan, bukan penaklukan. Dunia harus memutuskan: apakah akan tetap menjadi saksi bisu pembantaian atau berdiri membela prinsip-prinsip kemanusiaan yang selama ini dikumandangkan di forum internasional. Karena jika tidak, maka tragedi Gaza akan menjadi luka abadi dalam sejarah umat manusia.

Dualisme Kepemimpinan di Kota Yerusalem


Yerusalem (Al Quds), kota suci tiga agama, hingga hari ini masih menyimpan kompleksitas politik yang tak kunjung usai. Salah satu wujud nyata dari kondisi tersebut adalah keberadaan dua otoritas yang masing-masing mengklaim kedaulatan atas kota ini, baik dari sisi administratif maupun spiritual. Di satu sisi, Israel mengangkat seorang walikota yang memiliki kuasa penuh terhadap seluruh wilayah Yerusalem, sementara di sisi lain, Otoritas Palestina juga menetapkan seorang gubernur untuk Yerusalem Timur meski tidak memiliki yurisdiksi nyata.

Saat ini, walikota Yerusalem adalah Moshe Lion, tokoh dari sayap kanan Israel yang dipercaya mengelola seluruh kota, baik bagian barat maupun timur, sejak Israel menyatukan wilayah itu secara de facto setelah Perang Enam Hari tahun 1967. Kota Yerusalem secara resmi tidak dimasukkan ke dalam salah satu provinsi administratif Israel lainnya, melainkan berdiri sebagai entitas kotamadya khusus yang langsung berada di bawah pemerintah pusat Israel, mirip seperti status “provinsi ibu kota”.

Sementara itu, Palestina menegaskan klaimnya atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara masa depan. Dalam kerangka itu, Otoritas Palestina menetapkan Adnan Ghaith sebagai Gubernur Yerusalem, mewakili simbol perlawanan dan legitimasi politik Palestina di kota yang menurut hukum internasional masih berstatus “wilayah pendudukan”. Namun, otoritas Israel tidak pernah mengakui posisi ini, bahkan menahan Ghaith dalam tahanan rumah sejak 2022 dan melarang segala bentuk aktivitas politiknya di Yerusalem.

Konflik yurisdiksi ini menjadikan posisi Gubernur Yerusalem versi Palestina lebih sebagai simbol perjuangan daripada jabatan administratif efektif. Pemerintah Israel melarang segala bentuk aktivitas resmi Otoritas Palestina di Yerusalem, termasuk pelarangan acara budaya, seminar, bahkan kehadiran organisasi sipil yang berafiliasi dengan Ramallah. Meski begitu, jabatan ini terus dipertahankan sebagai bentuk simbolik dari klaim hak atas Yerusalem Timur.

Di tengah tarik menarik dua kepemimpinan ini, ada satu lembaga lain yang turut memainkan peran sentral di Yerusalem, yakni Badan Wakaf Islam Yordania. Meski bukan bagian dari pemerintah Palestina, Yordania tetap memegang wewenang atas pengelolaan Masjid Al-Aqsa dan seluruh kompleks Al-Haram Al-Syarif. Hal ini berdasarkan kesepakatan internasional dan konsensus regional yang mengakui Yordania sebagai penjaga situs-situs suci Islam di kota tersebut.

Status Badan Wakaf Yordania sangat unik. Mereka bukan bagian dari Israel, bukan pula langsung di bawah Otoritas Palestina, tetapi memiliki mandat yang diakui oleh negara-negara Arab, PBB, dan sebagian besar komunitas internasional. Petugas wakaf Yordania bertanggung jawab dalam mengatur kegiatan ibadah, pemeliharaan masjid, serta menetapkan aturan masuk dan keluar kompleks Al-Aqsa, termasuk menolak campur tangan Israel dalam urusan keagamaan.

Namun dalam praktiknya, otoritas Israel sering kali melakukan intervensi sepihak terhadap area Al-Aqsa, termasuk pembatasan akses jemaah Muslim, penempatan polisi Israel di dalam kompleks suci, dan memberikan perlindungan terhadap kelompok pemukim Yahudi radikal yang memasuki area tersebut. Hal ini berulang kali memicu ketegangan dengan otoritas wakaf dan menjadi pemicu utama konflik di kawasan tersebut.

Situasi tersebut menggambarkan kompleksitas pengelolaan Yerusalem. Tiga aktor — walikota Israel, gubernur Palestina, dan wakaf Yordania — sama-sama terlibat dalam urusan kota ini dengan mandat yang saling bertolak belakang. Perbedaan antara “otoritas de facto” dan “legitimasi politik dan historis” menjadi benang kusut yang belum terselesaikan selama lebih dari setengah abad.

Israel mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kota tunggal dan abadi mereka sejak pengesahan “Basic Law: Jerusalem” pada tahun 1980, meski dunia internasional menolak pengakuan tersebut. Sementara itu, PBB dan sebagian besar negara di dunia tetap menganggap Yerusalem Timur sebagai wilayah pendudukan, yang status finalnya harus ditentukan melalui negosiasi.

Dalam pernyataan-pernyataannya, Gubernur Palestina di Yerusalem sering menegaskan bahwa kehadirannya adalah bagian dari perlawanan terhadap Israelisasi kota suci itu. Ia menyuarakan pentingnya mempertahankan identitas Arab dan Islam Yerusalem Timur, serta menolak proyek-proyek pemukiman Yahudi yang terus menggerus ruang hidup warga Palestina.

Namun akibat tekanan Israel yang terus meningkat, banyak kegiatan gubernur ini harus dilakukan diam-diam atau melalui jaringan informal. Bahkan kantor-kantor pemerintahan Palestina di Yerusalem Timur sudah lama ditutup secara paksa oleh aparat Israel. Beberapa pegawai pemerintah Palestina ditangkap hanya karena menggelar pertemuan di rumah warga atau mengibarkan bendera Palestina.

Sementara itu, posisi Moshe Lion sebagai walikota Yerusalem memberikan legitimasi administratif dan legal di bawah hukum Israel. Ia memimpin seluruh layanan publik, termasuk perizinan bangunan, transportasi, hingga pendidikan. Di bawah kepemimpinannya, banyak infrastruktur kota dikembangkan, namun warga Palestina di Yerusalem Timur mengeluhkan diskriminasi dalam anggaran, izin pembangunan, dan akses terhadap pelayanan sosial.

Di sisi lain, Badan Wakaf Yordania terus berusaha mempertahankan posisi mereka sebagai otoritas keagamaan Islam di kompleks Al-Aqsa. Meski berulang kali mendapat tekanan, mereka tetap menjalankan tugas mereka sebagai penjaga tempat suci, bahkan dalam kondisi yang sangat sulit. Peran mereka diakui sebagai bagian dari status quo sejarah yang diharapkan tidak diubah secara sepihak.

Kesimpulannya, Yerusalem berada dalam kondisi kepemimpinan yang terpecah dan penuh konflik. Walikota Israel memegang kendali penuh, gubernur Palestina bertahan sebagai simbol, dan wakaf Yordania menjaga wilayah suci. Kota ini menjadi potret nyata bagaimana politik, agama, dan sejarah saling bertabrakan dalam satu ruang geografi yang sangat sensitif.

Selama belum ada penyelesaian politik final antara Israel dan Palestina, maka realitas kepemimpinan ganda ini akan terus berlangsung. Yerusalem tetap menjadi pusat konflik identitas dan klaim kedaulatan, sekaligus kota yang mempersatukan sekaligus memisahkan. Sebuah ironi bagi tempat yang oleh banyak orang dianggap sebagai kota perdamaian.

Mengenal Dewan Suku dan Klan di Suriah

Dewan Suku dan Klan di Suriah merupakan lembaga sosial-politik yang berperan penting dalam memperkuat komunitas adat di wilayah tersebut, terutama dalam mengawal sektor pertanian dan peternakan. Dewan ini menjadi wadah aspirasi masyarakat adat untuk berkoordinasi langsung dengan pemerintah guna mencari solusi atas berbagai permasalahan yang dihadapi, seperti kelangkaan pakan ternak dan mahalnya harga sarana produksi pertanian. Dengan demikian, mereka turut membantu stabilitas ekonomi dan sosial di daerah yang sedang menjalani proses rekonstruksi pasca konflik.

Fungsi Dewan Suku ini bukan sebagai pemerintahan paralel, melainkan sebagai organisasi perwakilan yang menjembatani masyarakat adat dengan institusi resmi. Mereka mengadvokasi kepentingan masyarakat dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan lokal, tanpa mengambil alih peran pemerintahan formal. Dalam konteks ini, Dewan Suku Suriah dapat disamakan dengan peran lembaga adat di berbagai negara yang mengedepankan kearifan lokal untuk menjaga harmoni dan kesejahteraan.
Di Indonesia, terdapat lembaga serupa yang dikenal sebagai Dewan Kerajaan Kesultanan Adat Nusantara, Kerapatan Adat dll salah satunya adalah Majelis Tinggi Kerapatan Empat Suku Melayu Kenegerian Kubu di Provinsi Riau. Lembaga adat ini juga berperan sangat signifikan dalam hal pertanahan, terutama terkait dengan hak ulayat atau hak masyarakat hukum adat atas tanah mereka. Kerapatan Adat Nusantara berfungsi sebagai penjaga warisan adat dan pengawal hak-hak tanah yang telah turun-temurun dimiliki komunitas adat.
Kerapatan Adat di Indonesia seringkali terlibat langsung dalam upaya mempertahankan dan memperjuangkan hak ulayat mereka di hadapan pemerintah dan perusahaan swasta. Contohnya, Dewan Pengurus Harian Majelis Tinggi Kerapatan Empat Suku Melayu Kenegerian Kubu secara aktif mengajukan dokumen dan berkas terkait tanah ulayat kepada Panitia Kerja DPR RI serta berbagai instansi pemerintah untuk memastikan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah adat tersebut.
Proses pengajuan dan advokasi oleh Kerapatan Adat ini tidak hanya bersifat simbolik, melainkan melibatkan langkah-langkah hukum hingga ke pengadilan, untuk mempertahankan tanah ulayat dari sengketa dengan perusahaan besar yang mengelola perkebunan di atas tanah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga adat di Indonesia juga berperan sebagai penjaga hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat adat, khususnya dalam konteks pertanahan.

Kemiripan antara Dewan Suku Suriah dan Kerapatan Adat Nusantara tampak pada keduanya yang berperan sebagai penghubung antara masyarakat adat dan pemerintah, serta aktif mengadvokasi kepentingan komunitas mereka di berbagai sektor, termasuk ekonomi dan pertanahan. Keduanya menggunakan pendekatan kearifan lokal dan tradisional yang diselaraskan dengan mekanisme negara modern.

Di Suriah, Dewan Suku membantu pemerintah dalam pembangunan sektor pertanian dan peternakan, serta menjaga stabilitas sosial dengan mengelola hubungan antar suku dan klan. Sementara di Indonesia, Kerapatan Adat tidak hanya menjaga budaya dan tradisi, tapi juga ikut mengawasi pemanfaatan tanah adat dan hak ulayat sebagai bagian dari kekayaan dan identitas komunitas.

Peran Kerapatan Adat dalam pengelolaan tanah ulayat di Indonesia sangat strategis, terutama mengingat konflik lahan antara masyarakat adat dan perusahaan swasta sering terjadi. Dengan adanya lembaga adat, penyelesaian konflik dapat dilakukan melalui musyawarah dan proses hukum yang menghormati adat serta undang-undang nasional. Ini menjadi contoh konkret bagaimana lembaga adat memadukan norma tradisional dan hukum modern.

Kerapatan Adat di Indonesia telah melibatkan diri dalam dialog dengan DPR, pemerintah provinsi, hingga pemerintah kabupaten untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka. Penyerahan berkas pengaduan dan data terkait tanah ulayat kepada Panitia Kerja DPR merupakan langkah penting dalam memperjuangkan legalitas dan perlindungan tanah adat dari eksploitasi yang tidak adil.

Secara organisasi, baik Dewan Suku Suriah maupun Kerapatan Adat di Indonesia dipimpin oleh tokoh-tokoh adat yang memiliki legitimasi dan dihormati dalam komunitasnya. Mereka menjalankan fungsi koordinasi dan advokasi serta menjadi representasi kolektif yang kuat, yang mampu menyuarakan kepentingan masyarakat adat di forum resmi maupun sosial.

Kedua lembaga ini juga mengedepankan pelestarian budaya dan tradisi sebagai fondasi utama dalam membangun masyarakat yang harmonis dan mandiri. Mereka memberikan edukasi kepada generasi muda tentang pentingnya menjaga adat dan hak ulayat, sehingga kesinambungan nilai-nilai lokal tetap terjaga di tengah arus modernisasi.

Selain aspek budaya, Dewan Suku Suriah dan Kerapatan Adat Nusantara juga aktif dalam mendukung program pembangunan berkelanjutan. Di Suriah, fokusnya pada peningkatan produksi pertanian dan peternakan, sedangkan di Indonesia, upaya pelestarian hak ulayat juga berhubungan erat dengan pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan ekonomi komunitas.

Peran keduanya juga memperkuat mekanisme penyelesaian konflik internal melalui pendekatan adat yang damai dan dialogis. Dengan demikian, mereka tidak hanya menjadi penjaga budaya tetapi juga pengawal perdamaian dan stabilitas sosial di wilayah masing-masing.

Dalam menghadapi tantangan zaman, kedua lembaga berupaya terus beradaptasi dan memperkuat jaringan kerja sama dengan pemerintah dan lembaga lain. Hal ini penting agar advokasi dan perlindungan masyarakat adat dapat berjalan efektif dan berkelanjutan, tanpa kehilangan akar tradisionalnya.

Keberadaan Dewan Suku dan Kerapatan Adat membuktikan bahwa lembaga adat masih relevan dan sangat dibutuhkan dalam konteks pembangunan nasional. Mereka mampu menjembatani dunia adat dengan negara, serta memfasilitasi partisipasi aktif masyarakat adat dalam pembangunan dan pengelolaan sumber daya.

Dewan Suku Suriah dan Kerapatan Adat di Indonesia juga memberikan contoh bahwa pemberdayaan masyarakat adat tidak harus terlepas dari sistem pemerintahan modern, tetapi justru dapat menjadi pelengkap yang memperkuat demokrasi dan pemerintahan yang inklusif.

Di bidang pertanahan, khususnya di Indonesia, Kerapatan Adat secara aktif memperjuangkan pengakuan hak ulayat sebagai bagian dari pengakuan hukum nasional. Perjuangan ini melibatkan koordinasi dengan berbagai instansi negara, penyelesaian sengketa melalui jalur hukum, serta upaya advokasi di tingkat legislatif.

Sengketa tanah ulayat yang melibatkan Kerapatan Adat Empat Suku Melayu di Kenegerian Kubu, Riau, menggambarkan dinamika nyata dalam perlindungan hak masyarakat adat terhadap eksploitasi oleh korporasi perkebunan. Meski telah ada sejumlah putusan dan surat keputusan yang mengakui hak ulayat, realisasi perlindungan tersebut masih menghadapi berbagai kendala di lapangan.

Pemerintah pusat dan daerah berperan penting dalam memfasilitasi penyelesaian sengketa tanah ulayat melalui kerja sama dengan Kerapatan Adat dan berbagai pihak terkait. Namun, tantangan implementasi masih cukup besar, sehingga peran Kerapatan Adat sebagai pengawal hak adat tetap sangat krusial.

Upaya memperjuangkan hak ulayat ini menjadi bukti bahwa lembaga adat di Indonesia tidak hanya menjaga budaya, tetapi juga memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi bagi masyarakat adatnya. Peran ini menjadi penguat identitas sekaligus pilar penting dalam pembangunan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, baik Dewan Suku Suriah maupun Kerapatan Adat Nusantara menunjukkan peran vital lembaga adat dalam menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Melalui sinergi yang harmonis dengan pemerintah, keduanya dapat menjadi agen perubahan yang membawa manfaat besar bagi komunitas dan negara secara luas.

Dukung Sektor Pertanian, Dewan Suku Suriah Bertemu Menteri

Dewan Suku dan Klans Suriah menggelar pertemuan penting bersama Menteri Pertanian Dr. Amjad Badr pada akhir Mei 2025. Pertemuan ini bertujuan membahas dukungan dan pengembangan sektor pertanian serta peternakan yang saat ini menghadapi banyak tantangan serius. Kunjungan resmi ini dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal Dewan, Dr. Jihad Mar’i, didampingi oleh Kepala Kantor Administrasi Dewan, Bapak Tarek al-Kurdi.

Dalam pembukaannya, Dr. Jihad Mar’i menyampaikan ucapan selamat atas pengangkatan Dr. Amjad Badr sebagai Menteri Pertanian. Ia juga menegaskan pentingnya sinergi antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan sektor pertanian. Menurutnya, pertanian adalah pilar utama bagi stabilitas ekonomi dan sosial, khususnya di wilayah yang baru dibebaskan.

Selama pertemuan, delegasi Dewan menguraikan sejumlah kendala yang dihadapi para petani dan peternak. Masalah utama yang diangkat adalah kelangkaan pakan ternak dan tingginya harga bahan produksi pertanian. Selain itu, kurangnya dukungan teknis dan layanan pendampingan di beberapa wilayah turut menjadi hambatan besar bagi kemajuan sektor ini.

Menteri Amjad Badr menjelaskan secara rinci tentang rencana kerja kementerian yang akan dijalankan dalam waktu dekat. Rencana tersebut mencakup berbagai program dan kebijakan yang fokus pada pemberdayaan petani kecil dan peternak. Kementerian juga berkomitmen menyediakan bahan produksi dengan harga terjangkau dan meningkatkan layanan penyuluhan serta pelatihan.

Lebih jauh, proyek-proyek pengembangan yang bertujuan untuk memperbaiki kualitas dan luas lahan pertanian juga disiapkan. Program ini diharapkan dapat meningkatkan hasil produksi sekaligus menjaga kelestarian lingkungan pertanian di daerah-daerah rawan. Pendekatan ini dianggap sebagai langkah strategis untuk memastikan ketahanan pangan nasional.

Dalam kesempatan yang sama, kedua belah pihak menegaskan pentingnya kelanjutan koordinasi yang erat antara Dewan Suku dan pemerintah. Mereka sepakat bahwa kolaborasi ini adalah kunci untuk mengatasi masalah yang kompleks dan memastikan keberhasilan program-program yang telah direncanakan.

Dewan Suku dan Klans Suriah menilai keterlibatan mereka dalam proses pengambilan keputusan adalah bentuk nyata kontribusi masyarakat terhadap pembangunan nasional. Melalui dialog aktif dengan pemerintah, mereka berharap aspirasi petani dan peternak bisa lebih tersampaikan dan diakomodasi secara efektif.

Sektor pertanian di Suriah selama ini menjadi tulang punggung perekonomian di banyak wilayah. Namun, konflik dan ketidakstabilan politik telah memberikan dampak buruk terhadap produktivitas dan kesejahteraan petani. Karena itu, kebijakan yang menyentuh langsung masalah lapangan sangat dibutuhkan.

Kementerian Pertanian sendiri menghadapi tantangan berat dalam memastikan kelancaran pasokan dan distribusi bahan-bahan penting. Harga input produksi yang tinggi menjadi beban yang sangat memberatkan petani kecil dan menengah. Oleh sebab itu, intervensi pemerintah melalui subsidi dan program bantuan menjadi sangat vital.

Selain fokus pada produksi tanaman pangan, sektor peternakan juga mendapat perhatian khusus. Kelangkaan pakan menjadi masalah yang menekan para peternak dan mengancam keberlanjutan usaha mereka. Kementerian berencana mengembangkan pabrik pakan lokal dan mendukung peternak dengan teknologi tepat guna.

Peningkatan kapasitas petani juga menjadi bagian integral dari strategi kementerian. Melalui pelatihan teknis dan penyuluhan lapangan, petani akan dibekali kemampuan modern yang dapat meningkatkan efisiensi dan hasil panen. Hal ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan pada metode tradisional yang kurang efektif.

Proyek revitalisasi lahan pertanian rusak akibat perang dan pengabaian masa lalu juga menjadi prioritas. Pemerintah berencana memperbaiki irigasi dan mengembalikan kesuburan tanah agar dapat mendukung produksi yang lebih maksimal. Kerjasama dengan lembaga masyarakat dan internasional pun terus dibangun.

Kehadiran Dewan Suku dalam dialog ini menunjukkan keterbukaan pemerintah untuk melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Hal ini diharapkan bisa meningkatkan rasa memiliki dan tanggung jawab bersama dalam membangun sektor pertanian dan peternakan.

Pertemuan ini juga menjadi momentum untuk membangun jaringan komunikasi yang lebih efektif antara pemerintah dan komunitas lokal. Dengan saling memahami kebutuhan dan kendala masing-masing, solusi yang dihasilkan akan lebih tepat sasaran dan berdampak positif.

Dalam jangka panjang, penguatan sektor pertanian diharapkan dapat memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat dan menstabilkan harga pangan. Hal ini juga akan berkontribusi pada perdamaian dan rekonstruksi nasional yang berkelanjutan. Stabilitas di bidang pangan sangat menentukan kualitas hidup warga Suriah.

Menteri Amjad Badr menekankan bahwa keberhasilan program tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat saja, tetapi juga peran aktif masyarakat. Oleh karena itu, keterlibatan Dewan Suku sebagai wakil komunitas lokal sangat strategis untuk memastikan implementasi berjalan lancar.

Seluruh pihak yang hadir menyatakan komitmen untuk terus meningkatkan dialog dan menjalin kerja sama yang lebih erat. Dengan begitu, berbagai hambatan yang selama ini menghalangi kemajuan sektor pertanian dan peternakan bisa segera diatasi.

Pertemuan ini menjadi bukti nyata bahwa pemerintah Suriah berupaya membangun masa depan yang lebih cerah dengan melibatkan semua unsur bangsa. Dukungan dan kerjasama lintas sektoral menjadi kunci utama menuju kemajuan yang inklusif dan berkelanjutan.

Dengan adanya rencana-rencana strategis dan sinergi antara Dewan Suku dan Kementerian Pertanian, diharapkan sektor vital ini dapat bangkit kembali. Masyarakat petani dan peternak pun akan mendapatkan harapan baru untuk hidup lebih sejahtera.

Pentingnya sektor pertanian dan peternakan sebagai penopang ekonomi nasional membuat perhatian ini menjadi prioritas utama. Pemerintah Suriah berharap bahwa melalui kerja sama yang erat dan berkelanjutan, tantangan yang ada dapat diatasi dengan baik.

Sebagai kesimpulan, pertemuan ini menandai langkah awal yang positif dalam membangun sektor pertanian yang lebih kuat dan mandiri. Ke depan, sinergi antara pemerintah dan masyarakat akan terus diperkuat demi kemajuan dan kesejahteraan rakyat Suriah.


Friday, 27 June 2025

Dilema Afar: Di Persimpangan Tiga Negara Afrika dan Laut Merah


Suku Afar merupakan salah satu kelompok etnis paling unik di wilayah Tanduk Afrika karena keberadaannya yang membentang di tiga negara sekaligus: Djibouti, Eritrea, dan Ethiopia. Mereka adalah masyarakat pastoral nomaden yang selama berabad-abad hidup di wilayah kering dan panas di sekitar Segitiga Afar, termasuk kawasan Danakil Depression yang terkenal dengan kondisi geografis ekstrem. Meskipun menyatu dalam identitas budaya yang kuat, nasib orang Afar sangat bergantung pada batas negara yang memisahkan mereka secara administratif dan politik.

Di Ethiopia, orang Afar terkonsentrasi di Region Afar, sebuah wilayah administratif resmi yang mencakup daerah seperti Semera, Asayita, dan Logiya. Mereka memiliki otonomi regional yang diakui oleh negara, dengan lembaga-lembaga pemerintahan lokal yang dipimpin oleh orang Afar sendiri. Wilayah ini mendapatkan anggaran tersendiri dari pemerintah federal Ethiopia dan telah menjadi lokasi prioritas pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir. Ini membuat komunitas Afar di Ethiopia relatif lebih makmur dibandingkan saudara-saudara mereka di Eritrea dan Djibouti.

Berbeda dengan Ethiopia, di Eritrea, orang Afar tinggal di wilayah pesisir tenggara terutama di sekitar pelabuhan Assab. Namun, mereka tidak memiliki pengakuan administratif khusus dari pemerintah pusat Asmara. Bahkan, banyak laporan menyebutkan bahwa kelompok Afar di Eritrea mengalami marginalisasi, termasuk pembatasan kebebasan bergerak, penahanan sewenang-wenang, dan pembatasan bahasa serta budaya. Ini memicu eksodus sebagian besar orang Afar ke Ethiopia dan Djibouti dalam beberapa dekade terakhir, menjadikan posisi mereka di Eritrea sebagai kelompok yang paling tertekan secara sosial dan politik.

Sementara itu, di Djibouti, orang Afar menempati wilayah utara negara tersebut, terutama di daerah Tadjourah dan Obock. Meski secara jumlah mereka merupakan kelompok etnis terbesar kedua setelah suku Somali Issa, posisi politik mereka sangat lemah. Pemerintah Djibouti yang didominasi oleh etnis Somali—terutama klan Issa—selama ini dinilai telah meminggirkan orang Afar dari struktur kekuasaan nasional. Dalam sistem presidensial Djibouti, dominasi klan Issa sangat kental, mulai dari kepresidenan, militer, hingga sektor ekonomi strategis.

Ketimpangan etnis ini menciptakan gesekan sosial dan politik yang berulang kali meledak dalam bentuk konflik bersenjata. Kelompok Front for the Restoration of Unity and Democracy (FRUD), yang beranggotakan sebagian besar pejuang dari komunitas Afar, telah menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi klan Issa dan pemerintahan pusat Djibouti. FRUD dituduh melakukan serangkaian serangan terhadap pasukan militer Djibouti, termasuk serangan mematikan di Tadjourah pada 2022 yang menewaskan tujuh tentara.

Konflik ini menunjukkan bahwa struktur klan di Djibouti bukan hanya menjadi identitas sosial, tetapi juga sumber dominasi dan perlawanan. Klan Issa dari suku Somali memegang kendali atas negara, sementara klan Afar harus berjuang agar eksistensinya tidak tenggelam dalam sistem yang dianggap tidak adil. Pemerintah Djibouti mendapat dukungan militer dari negara-negara asing seperti Turki dan China, yang dilaporkan telah membekali pasukan Djibouti dengan drone tempur. Ini memicu kritik dari masyarakat Afar yang menuding bahwa senjata-senjata canggih tersebut justru digunakan untuk menindas penggembala miskin di pedalaman.

Kebijakan luar negeri Djibouti yang proaktif menjalin aliansi militer dan ekonomi dengan kekuatan global membuat posisi pemerintah pusat semakin kuat. Namun, bagi komunitas Afar, kebijakan itu justru memperdalam ketimpangan karena tidak dibarengi dengan inklusi politik yang nyata. Alih-alih dilibatkan dalam pemerintahan, mereka justru dijadikan sasaran dalam kampanye militer di daerah pegunungan dan gurun tempat mereka bermukim.

Eritrea dan Djibouti sama-sama memperlihatkan kecenderungan otoritarianisme terhadap komunitas Afar. Namun Djibouti lebih sering mendapat sorotan karena posisinya sebagai mitra militer penting bagi negara-negara besar, termasuk AS, Prancis, dan China. Dalam narasi internasional, Djibouti dipuji karena stabilitasnya. Tetapi bagi banyak orang Afar, stabilitas itu dibangun di atas represi terhadap hak-hak komunitas mereka yang minoritas secara politik.

Berbeda dengan kedua negara itu, Ethiopia memberikan lebih banyak ruang bagi orang Afar untuk berpartisipasi dalam pemerintahan lokal. Meski wilayah Afar di Ethiopia masih tergolong miskin dan rentan terhadap perubahan iklim, upaya pembangunan infrastruktur serta bantuan dari pemerintah federal membuat taraf hidup masyarakat Afar di Ethiopia perlahan membaik. Mereka juga dilibatkan dalam isu-isu keamanan nasional, seperti ketika pemerintah Ethiopia bekerja sama dengan otoritas Afar dalam membebaskan tentara Djibouti yang diculik oleh FRUD.

Kerja sama tersebut juga menjadi simbol peran komunitas Afar di Ethiopia sebagai penyeimbang dalam dinamika regional. Mereka tidak hanya menjadi objek konflik, tetapi juga agen perdamaian ketika dibutuhkan. Ini memperkuat persepsi bahwa orang Afar di Ethiopia lebih dihargai secara politik dan sosial ketimbang rekan-rekan mereka di dua negara tetangga.

Ketimpangan kesejahteraan ini menimbulkan migrasi internal yang cukup tinggi di kalangan orang Afar. Banyak di antara mereka yang meninggalkan wilayah Djibouti atau Eritrea untuk menetap di Ethiopia demi memperoleh akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang lebih baik. Meski Ethiopia sendiri masih bergulat dengan konflik internal, komunitas Afar di sana tetap menjadi bagian penting dari kerangka federal negara.

Namun, keberadaan komunitas Afar yang terpecah di tiga negara juga membuat mereka rentan menjadi alat dalam konflik lintas batas. Ketegangan antara Djibouti dan Eritrea, misalnya, seringkali membawa dampak langsung bagi komunitas Afar yang tinggal di wilayah perbatasan. Mereka kerap dituduh sebagai pemberontak atau simpatisan musuh hanya karena ikatan etnis yang melampaui batas negara.

Di tengah situasi ini, suara orang Afar semakin kuat dalam menuntut pengakuan dan keadilan, baik dalam bentuk otonomi, keterlibatan dalam pemerintahan, maupun pengakuan atas hak budaya mereka. Banyak tokoh diaspora Afar juga mulai angkat bicara di forum internasional, memperingatkan bahwa konflik struktural yang mereka alami tidak akan selesai selama kekuasaan masih dibagi berdasarkan garis klan dan bukan keadilan sosial.

Djibouti kini berada di persimpangan sulit. Jika ingin mempertahankan reputasi internasionalnya sebagai negara stabil dan mitra strategis global, maka pemerintahannya harus membuka ruang dialog politik yang inklusif, termasuk dengan komunitas Afar. Jika tidak, konflik seperti yang terjadi di Tadjourah bisa menjadi awal dari ketegangan etnis yang lebih luas.

Masa depan komunitas Afar di tiga negara ini sangat bergantung pada bagaimana negara-negara tersebut menangani isu etnis secara adil dan berkelanjutan. Selama politik klan masih mendikte akses terhadap kekuasaan dan sumber daya, orang Afar akan terus berada dalam posisi rawan—baik sebagai korban konflik maupun sebagai alat dalam tarik-menarik geopolitik regional.

Sejarah Kesultanan Afar dan Nasib yang Mirip Kurdi

Suku Afar merupakan salah satu kelompok etnis tertua di kawasan Tanduk Afrika yang memiliki sejarah panjang dalam membentuk struktur kekuasaan mandiri, terutama melalui berdirinya Kesultanan Afar atau yang dikenal sebagai Kesultanan Aussa. Kesultanan ini muncul pada abad ke-18 sebagai kelanjutan dari perpecahan Kesultanan Adal yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Islam di wilayah Somalia dan bagian timur Ethiopia. Berpusat di kota Aussa (sekarang di Region Afar, Ethiopia), kesultanan ini menjadi simbol politik, budaya, dan agama masyarakat Afar hingga abad ke-20.

Kesultanan Aussa memerintah wilayah yang luas, meliputi bagian timur laut Ethiopia, Djibouti, hingga pesisir Eritrea. Sistem pemerintahannya berbasis Islam dan dipimpin oleh Sultan yang memiliki otoritas atas jaringan klan Afar yang tersebar. Struktur kesultanan ini juga menunjukkan adanya sistem politik lokal yang mapan dan dihormati oleh kekuatan regional, termasuk kekaisaran Ethiopia di barat dan sultan-sultan Arab di Laut Merah. Kesultanan Aussa menjadi penjaga identitas Afar selama berabad-abad, termasuk dalam mempertahankan bahasa, adat, dan jaringan perdagangan.

Namun pada pertengahan abad ke-20, kekuatan Kesultanan Aussa mulai menurun seiring dengan meluasnya pengaruh kekaisaran Ethiopia dan masuknya kolonialisme Eropa di wilayah sekitarnya. Pada masa pemerintahan Kaisar Haile Selassie, wilayah kekuasaan kesultanan secara bertahap diintegrasikan ke dalam struktur negara Ethiopia. Tahun 1975, setelah revolusi komunis di Ethiopia dan berdirinya rezim Derg, kesultanan ini resmi dibubarkan oleh pemerintah pusat dan status otonomi Afar pun dihapus. Sejak saat itu, orang Afar kehilangan struktur kekuasaan tradisional mereka dan menjadi minoritas yang tersebar di tiga negara modern: Ethiopia, Djibouti, dan Eritrea.

Nasib orang Afar dalam sistem politik modern mencerminkan apa yang dialami oleh bangsa Kurdi di Timur Tengah. Sama seperti Kurdi yang terpecah di empat negara—Turki, Suriah, Irak, dan Iran—orang Afar juga terpecah di tiga negara dan tidak memiliki satu entitas politik tunggal yang mewakili aspirasi mereka. Baik Kurdi maupun Afar mengalami marginalisasi politik, dominasi oleh etnis mayoritas, dan kegagalan mendapatkan hak menentukan nasib sendiri di tengah peta geopolitik yang tidak menguntungkan.

Di Djibouti, orang Afar menghadapi dominasi politik oleh klan Issa dari suku Somali. Meski menjadi kelompok etnis terbesar kedua, mereka jarang mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Sementara di Eritrea, pemerintah otoriter membatasi ekspresi budaya dan agama komunitas Afar, menyebabkan banyak dari mereka menjadi pengungsi. Di Ethiopia, meski memiliki wilayah administratif sendiri (Region Afar), mereka masih menghadapi tantangan pembangunan, konflik sumber daya, dan pengaruh militer dari luar.

Kesamaan lain dengan Kurdi adalah bahwa orang Afar kerap dituduh sebagai ancaman separatis atau pemberontak oleh negara-negara tempat mereka tinggal. Di Djibouti, kelompok FRUD (Front for the Restoration of Unity and Democracy) yang berbasis pada komunitas Afar dianggap sebagai kelompok bersenjata oposisi. Ini mirip dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki atau YPG di Suriah, yang dituding sebagai pemberontak oleh negara masing-masing. Dalam kedua kasus, tuntutan terhadap otonomi dan hak-hak budaya dijawab dengan represi militer.

Seperti halnya Kurdi yang berperan besar dalam melawan ISIS di Suriah dan Irak, orang Afar juga memainkan peran penting dalam keamanan regional. Pemerintah Ethiopia, misalnya, bergantung pada kerja sama dengan pemerintah daerah Afar dalam mengelola wilayah perbatasan yang rawan dan mengatasi kelompok bersenjata lintas batas. Namun, kontribusi ini tidak selalu dibarengi dengan penghargaan politik yang setara, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di akar rumput.

Baik Afar maupun Kurdi juga memiliki diaspora yang aktif di Eropa dan Amerika Utara, yang memperjuangkan hak komunitas mereka melalui forum internasional. Diaspora ini memainkan peran penting dalam memperkuat identitas kolektif dan membangun narasi bahwa mereka adalah bangsa yang tidak memiliki negara—sebuah status yang menumbuhkan solidaritas lintas generasi. Namun, seperti nasib Kurdi yang kerap terpecah antara berbagai faksi, komunitas Afar pun sering terbelah secara internal antara klan dan kepentingan lokal.

Meskipun kondisi geopolitik saat ini tidak menguntungkan, semangat komunitas Afar untuk mempertahankan identitas politik dan budayanya tetap kuat. Dalam perlawanan terhadap marginalisasi, orang Afar menunjukkan bahwa mereka bukan hanya korban sejarah, tetapi juga pelaku aktif yang berjuang untuk masa depan. Sama seperti Kurdi yang kini memiliki wilayah otonom di Irak, banyak orang Afar bermimpi suatu hari nanti bisa menghidupkan kembali semangat Kesultanan Aussa dalam bentuk pemerintahan yang demokratis dan berdaulat.

Dengan sejarah kesultanan yang kuat, jaringan sosial yang luas, dan identitas budaya yang jelas, orang Afar memiliki modal sosial yang serupa dengan bangsa Kurdi. Keduanya mencerminkan kelompok etnis yang menolak dilenyapkan oleh peta kolonial dan struktur negara modern yang tidak mengakui hak-hak mereka. Di tengah tantangan besar, perjuangan mereka tetap menjadi simbol dari perlawanan atas penindasan identitas dan perebutan kembali kendali atas tanah leluhur mereka.

Berikut penjelasan singkat tentang pemimpin komunitas Afar saat ini:

Di Ethiopia, Presiden Region Afar—dengan gelar resmi sebagai Chief Administrator—adalah Awol Arba. Ia menjabat sejak 17 Desember 2018 dan kembali ditunjuk pada September 2021 sebagai figur utama pemerintahan regional Afar yang diberi otonomi. Awol Arba mewakili Partai Demokrat Nasional Afar (ANDP) dan aktif memimpin dalam kemitraan pembangunan daerah serta menjalin hubungan dengan lembaga internasional seperti USAID guna menghadapi tantangan iklim, infrastruktur, dan kesehatan masyarakat.  

Sementara di Djibouti dan Eritrea, komunitas Afar tidak memiliki pemimpin politik terpusat yang diakui secara resmi oleh negara, melainkan dipimpin melalui struktur klan dan tradisional. Di Djibouti, orang Afar tersebar di Tadjourah dan Obock dan dikendalikan oleh kepala klan seperti Asaimara dan Adoimara yang secara lokal memimpin komunitas herder dan pekerja. Namun secara nasional, mereka kurang representasi politik di pemerintahan, akibat dominasi klan Issa dari suku Somali.

Di Eritrea, komunitas Afar tinggal di pesisir selatan—sekitar Assab—tetapi rezim Asmara tidak mengakui struktur kenegaraan atau kepemimpinan tradisional mereka, sehingga orang Afar di sana dipimpin secara informal melalui tokoh-tokoh klan dan diaspora yang berupaya menjaga identitas budaya dan mengadvokasi hak mereka di luar negeri.