Thursday, 18 December 2025

Sungai Acheh, Jejak Aceh di Pulau Pinang


Kampung Sungai Acheh di Pulau Pinang menyimpan kisah panjang tentang pertemuan lintas Selat Melaka, ketika mobilitas manusia, dagang, dan budaya membentuk wajah pesisir barat Semenanjung. Nama kampung ini kerap memantik perbincangan, terutama soal sejauh mana keterkaitannya dengan Aceh dan bagaimana sejarah lokal itu berkembang dari masa ke masa.

Dalam ingatan kolektif masyarakat setempat, Sungai Acheh diyakini berhubungan dengan kedatangan orang-orang Aceh ke wilayah ini. Mereka dikenal sebagai pedagang yang singgah dan berinteraksi dengan penduduk tempatan, lalu sebagian menetap dan membaur. Dari interaksi inilah nama “Acheh” melekat pada sungai dan kawasan sekitarnya.

Jejak Aceh di Pulau Pinang bukanlah anomali. Sejak abad ke-18 dan ke-19, Selat Melaka menjadi jalur dagang utama yang menghubungkan Sumatra dan Semenanjung. Perahu-perahu dari Aceh, Minangkabau, dan pesisir Sumatra lainnya rutin berlabuh di titik-titik strategis, termasuk kawasan yang kini dikenal sebagai Sungai Acheh.

Namun, narasi yang menyebut kawasan ini sebagai pangkalan tentera Aceh untuk menyerang Johor Lama perlu ditempatkan secara hati-hati. Hingga kini, tidak ditemukan bukti sejarah yang kuat dan terdokumentasi yang mengonfirmasi keberadaan pangkalan militer Aceh di Sungai Acheh, apalagi terkait operasi penyerangan ke Johor Lama.

Sejarah mencatat konflik dan ekspedisi militer Kesultanan Aceh memang pernah terjadi di kawasan Selat Melaka pada abad ke-16. Tetapi peristiwa-peristiwa itu lebih banyak terkait Melaka dan wilayah strategis lain, bukan Pulau Pinang yang pada periode tersebut belum menjadi pusat politik atau militer.

Peninggalan fisik yang kerap disebut sebagai bukti kehadiran Aceh adalah sebuah telaga tua yang dikenal masyarakat sebagai Perigi Aceh. Telaga ini menjadi simbol memori kolektif, meski penanggalan dan siapa penggalinya belum dapat dipastikan secara akademik.

Selain telaga, terdapat pula beberapa kubur lama di sekitar kawasan kampung. Kubur-kubur ini sering dikaitkan dengan orang-orang Aceh, namun hingga kini belum ada kajian arkeologis atau epigrafis yang memastikan identitas mereka sebagai tentera atau pendatang dari Aceh.

Cerita rakyat turut memberi warna pada sejarah lokal Sungai Acheh. Salah satu kisah populer menyebut nama Sungai Chenaam berasal dari ungkapan “saya nak makan” yang dilafalkan seorang kanak-kanak ketika ayahnya mencari lokan di hutan paya bakau. Kisah ini hidup dari generasi ke generasi, meski tidak tercatat dalam sumber sejarah formal.

Versi lain yang beredar menyatakan nama Sungai Acheh merujuk pada aliran sungai yang konon mengarah ke Muara Aceh di Sumatra. Dari sisi geografi, penjelasan ini tidak dapat dibuktikan secara literal dan lebih tepat dipahami sebagai simbol hubungan lintas wilayah, bukan fakta hidrologi.

Seiring waktu, kawasan Sungai Acheh mengalami perubahan besar. Hutan paya bakau yang dulu mendominasi mulai ditata untuk kepentingan pertanian dan penempatan. Perubahan ini menandai fase baru dalam sejarah kampung, dari kawasan singgah dan rawa menjadi ruang hidup yang lebih menetap.

Pada pertengahan 1970-an, proyek pembangunan yang melibatkan Jabatan Pengairan dan Saliran bersama kerajaan negeri membuka jalan bagi pengembangan kawasan ini. Lahan-lahan yang sebelumnya sulit diakses mulai direklamasi dan diolah.

Perkembangan itu berlanjut pada awal 1980-an dengan berdirinya ratusan rumah pertama. Gelombang penempatan ini mengubah komposisi penduduk sekaligus memperkuat identitas kampung sebagai komunitas Melayu pesisir Pulau Pinang.

Program perumahan bagi keluarga berpendapatan rendah pada dekade berikutnya menambah jumlah penduduk dan memperluas kawasan hunian. Sungai Acheh pun tumbuh sebagai kampung modern tanpa sepenuhnya melepaskan ingatan masa lalunya.

Di tengah modernisasi, memori tentang Aceh tetap hidup dalam penamaan tempat dan cerita lisan. Nama “Acheh” tidak sekadar penunjuk geografis, melainkan penanda sejarah mobilitas orang dan budaya di Selat Melaka.

Bagi sejarawan, Sungai Acheh menarik karena menunjukkan bagaimana sejarah lokal sering dibangun dari lapisan fakta, ingatan, dan mitos. Tidak semua cerita dapat diverifikasi, namun semuanya mencerminkan cara masyarakat memahami asal-usul mereka.

Pendekatan kritis diperlukan agar sejarah tidak terjebak pada romantisasi tanpa bukti. Kisah tentang pangkalan tentera atau asal-usul nama yang sensasional perlu diuji dengan sumber tertulis, peta lama, dan penelitian lapangan.

Di sisi lain, cerita rakyat memiliki nilai tersendiri sebagai ekspresi identitas dan memori sosial. Kisah-kisah ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, sekaligus memperkaya khazanah budaya setempat.

Sungai Acheh pada akhirnya adalah cermin hubungan panjang antara Pulau Pinang dan dunia Sumatra. Ia menunjukkan bahwa sejarah kawasan pesisir dibentuk oleh arus dagang, migrasi, dan pertemuan budaya, bukan semata-mata oleh peristiwa militer.

Dengan menempatkan fakta dan cerita pada porsinya masing-masing, Sungai Acheh dapat dipahami secara lebih utuh. Kampung ini bukan sekadar nama di peta, melainkan ruang sejarah yang hidup, di mana jejak Aceh hadir sebagai bagian dari perjalanan panjang Selat Melaka.

0 comments:

Post a Comment