Friday, 27 June 2025

Dilema Afar: Di Persimpangan Tiga Negara Afrika dan Laut Merah


Suku Afar merupakan salah satu kelompok etnis paling unik di wilayah Tanduk Afrika karena keberadaannya yang membentang di tiga negara sekaligus: Djibouti, Eritrea, dan Ethiopia. Mereka adalah masyarakat pastoral nomaden yang selama berabad-abad hidup di wilayah kering dan panas di sekitar Segitiga Afar, termasuk kawasan Danakil Depression yang terkenal dengan kondisi geografis ekstrem. Meskipun menyatu dalam identitas budaya yang kuat, nasib orang Afar sangat bergantung pada batas negara yang memisahkan mereka secara administratif dan politik.

Di Ethiopia, orang Afar terkonsentrasi di Region Afar, sebuah wilayah administratif resmi yang mencakup daerah seperti Semera, Asayita, dan Logiya. Mereka memiliki otonomi regional yang diakui oleh negara, dengan lembaga-lembaga pemerintahan lokal yang dipimpin oleh orang Afar sendiri. Wilayah ini mendapatkan anggaran tersendiri dari pemerintah federal Ethiopia dan telah menjadi lokasi prioritas pembangunan infrastruktur dalam beberapa tahun terakhir. Ini membuat komunitas Afar di Ethiopia relatif lebih makmur dibandingkan saudara-saudara mereka di Eritrea dan Djibouti.

Berbeda dengan Ethiopia, di Eritrea, orang Afar tinggal di wilayah pesisir tenggara terutama di sekitar pelabuhan Assab. Namun, mereka tidak memiliki pengakuan administratif khusus dari pemerintah pusat Asmara. Bahkan, banyak laporan menyebutkan bahwa kelompok Afar di Eritrea mengalami marginalisasi, termasuk pembatasan kebebasan bergerak, penahanan sewenang-wenang, dan pembatasan bahasa serta budaya. Ini memicu eksodus sebagian besar orang Afar ke Ethiopia dan Djibouti dalam beberapa dekade terakhir, menjadikan posisi mereka di Eritrea sebagai kelompok yang paling tertekan secara sosial dan politik.

Sementara itu, di Djibouti, orang Afar menempati wilayah utara negara tersebut, terutama di daerah Tadjourah dan Obock. Meski secara jumlah mereka merupakan kelompok etnis terbesar kedua setelah suku Somali Issa, posisi politik mereka sangat lemah. Pemerintah Djibouti yang didominasi oleh etnis Somali—terutama klan Issa—selama ini dinilai telah meminggirkan orang Afar dari struktur kekuasaan nasional. Dalam sistem presidensial Djibouti, dominasi klan Issa sangat kental, mulai dari kepresidenan, militer, hingga sektor ekonomi strategis.

Ketimpangan etnis ini menciptakan gesekan sosial dan politik yang berulang kali meledak dalam bentuk konflik bersenjata. Kelompok Front for the Restoration of Unity and Democracy (FRUD), yang beranggotakan sebagian besar pejuang dari komunitas Afar, telah menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi klan Issa dan pemerintahan pusat Djibouti. FRUD dituduh melakukan serangkaian serangan terhadap pasukan militer Djibouti, termasuk serangan mematikan di Tadjourah pada 2022 yang menewaskan tujuh tentara.

Konflik ini menunjukkan bahwa struktur klan di Djibouti bukan hanya menjadi identitas sosial, tetapi juga sumber dominasi dan perlawanan. Klan Issa dari suku Somali memegang kendali atas negara, sementara klan Afar harus berjuang agar eksistensinya tidak tenggelam dalam sistem yang dianggap tidak adil. Pemerintah Djibouti mendapat dukungan militer dari negara-negara asing seperti Turki dan China, yang dilaporkan telah membekali pasukan Djibouti dengan drone tempur. Ini memicu kritik dari masyarakat Afar yang menuding bahwa senjata-senjata canggih tersebut justru digunakan untuk menindas penggembala miskin di pedalaman.

Kebijakan luar negeri Djibouti yang proaktif menjalin aliansi militer dan ekonomi dengan kekuatan global membuat posisi pemerintah pusat semakin kuat. Namun, bagi komunitas Afar, kebijakan itu justru memperdalam ketimpangan karena tidak dibarengi dengan inklusi politik yang nyata. Alih-alih dilibatkan dalam pemerintahan, mereka justru dijadikan sasaran dalam kampanye militer di daerah pegunungan dan gurun tempat mereka bermukim.

Eritrea dan Djibouti sama-sama memperlihatkan kecenderungan otoritarianisme terhadap komunitas Afar. Namun Djibouti lebih sering mendapat sorotan karena posisinya sebagai mitra militer penting bagi negara-negara besar, termasuk AS, Prancis, dan China. Dalam narasi internasional, Djibouti dipuji karena stabilitasnya. Tetapi bagi banyak orang Afar, stabilitas itu dibangun di atas represi terhadap hak-hak komunitas mereka yang minoritas secara politik.

Berbeda dengan kedua negara itu, Ethiopia memberikan lebih banyak ruang bagi orang Afar untuk berpartisipasi dalam pemerintahan lokal. Meski wilayah Afar di Ethiopia masih tergolong miskin dan rentan terhadap perubahan iklim, upaya pembangunan infrastruktur serta bantuan dari pemerintah federal membuat taraf hidup masyarakat Afar di Ethiopia perlahan membaik. Mereka juga dilibatkan dalam isu-isu keamanan nasional, seperti ketika pemerintah Ethiopia bekerja sama dengan otoritas Afar dalam membebaskan tentara Djibouti yang diculik oleh FRUD.

Kerja sama tersebut juga menjadi simbol peran komunitas Afar di Ethiopia sebagai penyeimbang dalam dinamika regional. Mereka tidak hanya menjadi objek konflik, tetapi juga agen perdamaian ketika dibutuhkan. Ini memperkuat persepsi bahwa orang Afar di Ethiopia lebih dihargai secara politik dan sosial ketimbang rekan-rekan mereka di dua negara tetangga.

Ketimpangan kesejahteraan ini menimbulkan migrasi internal yang cukup tinggi di kalangan orang Afar. Banyak di antara mereka yang meninggalkan wilayah Djibouti atau Eritrea untuk menetap di Ethiopia demi memperoleh akses terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang lebih baik. Meski Ethiopia sendiri masih bergulat dengan konflik internal, komunitas Afar di sana tetap menjadi bagian penting dari kerangka federal negara.

Namun, keberadaan komunitas Afar yang terpecah di tiga negara juga membuat mereka rentan menjadi alat dalam konflik lintas batas. Ketegangan antara Djibouti dan Eritrea, misalnya, seringkali membawa dampak langsung bagi komunitas Afar yang tinggal di wilayah perbatasan. Mereka kerap dituduh sebagai pemberontak atau simpatisan musuh hanya karena ikatan etnis yang melampaui batas negara.

Di tengah situasi ini, suara orang Afar semakin kuat dalam menuntut pengakuan dan keadilan, baik dalam bentuk otonomi, keterlibatan dalam pemerintahan, maupun pengakuan atas hak budaya mereka. Banyak tokoh diaspora Afar juga mulai angkat bicara di forum internasional, memperingatkan bahwa konflik struktural yang mereka alami tidak akan selesai selama kekuasaan masih dibagi berdasarkan garis klan dan bukan keadilan sosial.

Djibouti kini berada di persimpangan sulit. Jika ingin mempertahankan reputasi internasionalnya sebagai negara stabil dan mitra strategis global, maka pemerintahannya harus membuka ruang dialog politik yang inklusif, termasuk dengan komunitas Afar. Jika tidak, konflik seperti yang terjadi di Tadjourah bisa menjadi awal dari ketegangan etnis yang lebih luas.

Masa depan komunitas Afar di tiga negara ini sangat bergantung pada bagaimana negara-negara tersebut menangani isu etnis secara adil dan berkelanjutan. Selama politik klan masih mendikte akses terhadap kekuasaan dan sumber daya, orang Afar akan terus berada dalam posisi rawan—baik sebagai korban konflik maupun sebagai alat dalam tarik-menarik geopolitik regional.

Sejarah Kesultanan Afar dan Nasib yang Mirip Kurdi

Suku Afar merupakan salah satu kelompok etnis tertua di kawasan Tanduk Afrika yang memiliki sejarah panjang dalam membentuk struktur kekuasaan mandiri, terutama melalui berdirinya Kesultanan Afar atau yang dikenal sebagai Kesultanan Aussa. Kesultanan ini muncul pada abad ke-18 sebagai kelanjutan dari perpecahan Kesultanan Adal yang sebelumnya menjadi pusat kekuasaan Islam di wilayah Somalia dan bagian timur Ethiopia. Berpusat di kota Aussa (sekarang di Region Afar, Ethiopia), kesultanan ini menjadi simbol politik, budaya, dan agama masyarakat Afar hingga abad ke-20.

Kesultanan Aussa memerintah wilayah yang luas, meliputi bagian timur laut Ethiopia, Djibouti, hingga pesisir Eritrea. Sistem pemerintahannya berbasis Islam dan dipimpin oleh Sultan yang memiliki otoritas atas jaringan klan Afar yang tersebar. Struktur kesultanan ini juga menunjukkan adanya sistem politik lokal yang mapan dan dihormati oleh kekuatan regional, termasuk kekaisaran Ethiopia di barat dan sultan-sultan Arab di Laut Merah. Kesultanan Aussa menjadi penjaga identitas Afar selama berabad-abad, termasuk dalam mempertahankan bahasa, adat, dan jaringan perdagangan.

Namun pada pertengahan abad ke-20, kekuatan Kesultanan Aussa mulai menurun seiring dengan meluasnya pengaruh kekaisaran Ethiopia dan masuknya kolonialisme Eropa di wilayah sekitarnya. Pada masa pemerintahan Kaisar Haile Selassie, wilayah kekuasaan kesultanan secara bertahap diintegrasikan ke dalam struktur negara Ethiopia. Tahun 1975, setelah revolusi komunis di Ethiopia dan berdirinya rezim Derg, kesultanan ini resmi dibubarkan oleh pemerintah pusat dan status otonomi Afar pun dihapus. Sejak saat itu, orang Afar kehilangan struktur kekuasaan tradisional mereka dan menjadi minoritas yang tersebar di tiga negara modern: Ethiopia, Djibouti, dan Eritrea.

Nasib orang Afar dalam sistem politik modern mencerminkan apa yang dialami oleh bangsa Kurdi di Timur Tengah. Sama seperti Kurdi yang terpecah di empat negara—Turki, Suriah, Irak, dan Iran—orang Afar juga terpecah di tiga negara dan tidak memiliki satu entitas politik tunggal yang mewakili aspirasi mereka. Baik Kurdi maupun Afar mengalami marginalisasi politik, dominasi oleh etnis mayoritas, dan kegagalan mendapatkan hak menentukan nasib sendiri di tengah peta geopolitik yang tidak menguntungkan.

Di Djibouti, orang Afar menghadapi dominasi politik oleh klan Issa dari suku Somali. Meski menjadi kelompok etnis terbesar kedua, mereka jarang mendapat posisi penting dalam pemerintahan. Sementara di Eritrea, pemerintah otoriter membatasi ekspresi budaya dan agama komunitas Afar, menyebabkan banyak dari mereka menjadi pengungsi. Di Ethiopia, meski memiliki wilayah administratif sendiri (Region Afar), mereka masih menghadapi tantangan pembangunan, konflik sumber daya, dan pengaruh militer dari luar.

Kesamaan lain dengan Kurdi adalah bahwa orang Afar kerap dituduh sebagai ancaman separatis atau pemberontak oleh negara-negara tempat mereka tinggal. Di Djibouti, kelompok FRUD (Front for the Restoration of Unity and Democracy) yang berbasis pada komunitas Afar dianggap sebagai kelompok bersenjata oposisi. Ini mirip dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki atau YPG di Suriah, yang dituding sebagai pemberontak oleh negara masing-masing. Dalam kedua kasus, tuntutan terhadap otonomi dan hak-hak budaya dijawab dengan represi militer.

Seperti halnya Kurdi yang berperan besar dalam melawan ISIS di Suriah dan Irak, orang Afar juga memainkan peran penting dalam keamanan regional. Pemerintah Ethiopia, misalnya, bergantung pada kerja sama dengan pemerintah daerah Afar dalam mengelola wilayah perbatasan yang rawan dan mengatasi kelompok bersenjata lintas batas. Namun, kontribusi ini tidak selalu dibarengi dengan penghargaan politik yang setara, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di akar rumput.

Baik Afar maupun Kurdi juga memiliki diaspora yang aktif di Eropa dan Amerika Utara, yang memperjuangkan hak komunitas mereka melalui forum internasional. Diaspora ini memainkan peran penting dalam memperkuat identitas kolektif dan membangun narasi bahwa mereka adalah bangsa yang tidak memiliki negara—sebuah status yang menumbuhkan solidaritas lintas generasi. Namun, seperti nasib Kurdi yang kerap terpecah antara berbagai faksi, komunitas Afar pun sering terbelah secara internal antara klan dan kepentingan lokal.

Meskipun kondisi geopolitik saat ini tidak menguntungkan, semangat komunitas Afar untuk mempertahankan identitas politik dan budayanya tetap kuat. Dalam perlawanan terhadap marginalisasi, orang Afar menunjukkan bahwa mereka bukan hanya korban sejarah, tetapi juga pelaku aktif yang berjuang untuk masa depan. Sama seperti Kurdi yang kini memiliki wilayah otonom di Irak, banyak orang Afar bermimpi suatu hari nanti bisa menghidupkan kembali semangat Kesultanan Aussa dalam bentuk pemerintahan yang demokratis dan berdaulat.

Dengan sejarah kesultanan yang kuat, jaringan sosial yang luas, dan identitas budaya yang jelas, orang Afar memiliki modal sosial yang serupa dengan bangsa Kurdi. Keduanya mencerminkan kelompok etnis yang menolak dilenyapkan oleh peta kolonial dan struktur negara modern yang tidak mengakui hak-hak mereka. Di tengah tantangan besar, perjuangan mereka tetap menjadi simbol dari perlawanan atas penindasan identitas dan perebutan kembali kendali atas tanah leluhur mereka.

Berikut penjelasan singkat tentang pemimpin komunitas Afar saat ini:

Di Ethiopia, Presiden Region Afar—dengan gelar resmi sebagai Chief Administrator—adalah Awol Arba. Ia menjabat sejak 17 Desember 2018 dan kembali ditunjuk pada September 2021 sebagai figur utama pemerintahan regional Afar yang diberi otonomi. Awol Arba mewakili Partai Demokrat Nasional Afar (ANDP) dan aktif memimpin dalam kemitraan pembangunan daerah serta menjalin hubungan dengan lembaga internasional seperti USAID guna menghadapi tantangan iklim, infrastruktur, dan kesehatan masyarakat.  

Sementara di Djibouti dan Eritrea, komunitas Afar tidak memiliki pemimpin politik terpusat yang diakui secara resmi oleh negara, melainkan dipimpin melalui struktur klan dan tradisional. Di Djibouti, orang Afar tersebar di Tadjourah dan Obock dan dikendalikan oleh kepala klan seperti Asaimara dan Adoimara yang secara lokal memimpin komunitas herder dan pekerja. Namun secara nasional, mereka kurang representasi politik di pemerintahan, akibat dominasi klan Issa dari suku Somali.

Di Eritrea, komunitas Afar tinggal di pesisir selatan—sekitar Assab—tetapi rezim Asmara tidak mengakui struktur kenegaraan atau kepemimpinan tradisional mereka, sehingga orang Afar di sana dipimpin secara informal melalui tokoh-tokoh klan dan diaspora yang berupaya menjaga identitas budaya dan mengadvokasi hak mereka di luar negeri.  

0 comments:

Post a Comment