Monday, 22 December 2025

Ketika Ekonomi Wilayah Pembangkang Lebih Makmur dari Negara Induk


Wilayah yang dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF) melalui Administrasi Otonom Timur Laut Suriah (AANES) menunjukkan fenomena ekonomi unik. Meskipun jumlah penduduk lebih sedikit dibanding wilayah pemerintah pusat Damaskus, APBN tahunan AANES sekitar US$2 miliar, sedangkan APBN Damaskus diperkirakan hanya sekitar US$1 miliar.

Kontrol SDF atas sumber daya energi menjadi faktor utama perbedaan ini. Wilayah mereka menguasai ladang minyak strategis, gas alam, dan pertanian produktif yang memberikan pendapatan besar bagi administrasi otonom.

Sektor telekomunikasi juga menyumbang pendapatan. Perusahaan lokal seperti Rcell mengelola layanan internet dan jaringan 4G, memberikan kontribusi pada anggaran dan layanan publik.

Selain itu, perdagangan lokal diatur melalui pajak, bea cukai, dan regulasi yang mendukung administrasi dan operasi militer. Hal ini menciptakan sistem fiskal semi-otonom yang efektif.

Sebagian besar pengeluaran AANES diarahkan pada gaji pegawai dan subsidi, termasuk minyak, roti, dan obat-obatan. Dengan 220.000 pegawai publik, biaya mencapai US$50 juta per bulan, rata-rata US$220 per pegawai, sementara Koalisi Internasional hanya menanggung 10–15 persen dari gaji.

Meskipun gaji pegawai dan pekerja harian masih terbatas, standar upah di wilayah SDF lebih tinggi dibanding wilayah yang dikendalikan pemerintah pusat. Misalnya, pegawai al-Najm menerima 260.000 SYP (US$90) setelah kenaikan gaji, meski tetap sulit memenuhi kebutuhan keluarga beranggotakan lima orang.

Pekerja harian seperti Jalal al-Muhammad di Raqqa menerima sekitar US$3 per hari, lebih baik dibanding wilayah lain yang dikuasai pemerintah atau oposisi. Hal ini menunjukkan perbedaan kesejahteraan meski populasi wilayah lebih kecil.

Pendapatan dari sektor minyak memungkinkan SDF membiayai militer dan pertahanan, sekaligus menjaga stabilitas internal wilayah otonom. Prioritas ini membatasi kenaikan gaji, tetapi memastikan keamanan dan pengendalian wilayah tetap kuat.

Wilayah Damaskus, meskipun lebih padat penduduk, menghadapi APBN lebih kecil dan gaji lebih rendah karena blokade, kerusakan infrastruktur, dan ketergantungan pada bantuan internasional yang tidak stabil.

Kontrol AANES atas ladang minyak, pertanian, dan infrastruktur energi memberi mereka basis pendapatan lebih tinggi per kapita, sehingga mereka dapat membiayai layanan publik, pendidikan, kesehatan, dan proyek infrastruktur tanpa menunggu pemerintah pusat.

Sistem ini memperlihatkan model negara dalam negara, di mana wilayah otonom mampu mengelola sumber daya strategis dan mendanai administrasi serta pertahanan secara independen.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Suriah. Di Irak, wilayah Kurdistan juga menunjukkan pola serupa. Income per kapita Kurdistan lebih tinggi dibanding rata-rata wilayah lain di Irak, meskipun jumlah penduduknya lebih kecil.

Kawasan Kurdistan mengelola sendiri sektor energi dan fiskal, termasuk pendapatan dari ladang minyak dan pajak lokal. Hasilnya, administrasi regional dapat memberikan gaji pegawai dan subsidi yang lebih besar dibanding pemerintah pusat.

Selain itu, Kurdistan memiliki infrastruktur lokal untuk perdagangan, transportasi, dan layanan publik yang relatif lebih baik, meningkatkan kapasitas ekonomi dan kualitas hidup warganya dibanding wilayah lain di Irak.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa kontrol sumber daya strategis dan kemampuan fiskal lokal dapat membuat wilayah pembangkang atau otonom lebih makmur dibanding negara induk.

Pendapatan lebih tinggi per kapita memungkinkan wilayah otonom memberikan gaji pegawai lebih baik, subsidi sosial, dan investasi publik, meski mereka tetap menghadapi tekanan politik dan militer dari pemerintah pusat.

Di SDF, pengelolaan sektor energi, perdagangan, dan telekomunikasi memungkinkan anggaran dua kali lipat lebih besar dari Damaskus, mencerminkan efisiensi fiskal dan prioritas strategis wilayah otonom.

Kurdistan di Irak menunjukkan dinamika serupa: otonomi fiskal dan pengelolaan sumber daya energi menjadikan pendapatan per kapita lebih tinggi dibanding wilayah di luar Kurdistan.

Fenomena ini menegaskan bahwa wilayah otonom atau pembangkang yang menguasai sumber daya strategis dapat membangun ekonomi mandiri yang mampu melampaui ekonomi negara induk, meski menghadapi keterbatasan politik dan konflik regional.

Kesimpulannya, baik AANES di Suriah maupun Kurdistan di Irak membuktikan bahwa kontrol fiskal dan sumber daya strategis lebih menentukan kesejahteraan ekonomi wilayah dibanding ukuran populasi atau kendali politik formal.

0 comments:

Post a Comment