Wilayah-wilayah yang dikuasai oleh milisi atau otoritas lokal di berbagai negara Timur Tengah dan Afrika menunjukkan pola pengelolaan ekonomi yang menyerupai negara dalam negara. SDF di Suriah, STC dan Houthi di Yaman, milisi Al Hajri di Suwaida, dan pemerintahan RSF di Nyala, Sudan, masing-masing mengelola sektor strategis untuk mempertahankan otonomi dan kontrol politik mereka.
Di Suriah utara dan timur, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) mengontrol wilayah yang kaya sumber daya. Mereka memiliki hak administratif atas produksi minyak, distribusi air, dan pertanian, serta pengelolaan sektor energi lokal. Kontrol ini memungkinkan SDF mendanai operasinya dan menjaga otonomi wilayah.
Sektor telekomunikasi di wilayah SDF juga menunjukkan karakter semi-otonom. Perusahaan lokal seperti Rcell (Rojava Cell) memberikan layanan internet dan telekomunikasi 4G yang beroperasi di bawah pengawasan administratif SDF. ISP lokal juga memanfaatkan jaringan fiber dari wilayah Kurdi Irak, menyediakan konektivitas bagi warga tanpa campur tangan pemerintah pusat. Dulu pemerintahan penyelamat (SG) Suriah di Idlib juga melakukan hal yang sama era Bashar Al Assad.
SDF mengelola sektor perdagangan lokal melalui Autonomous Administration of North and East Syria (AANES). Mereka menetapkan peraturan pasar, mengawasi impor dan ekspor, dan menjaga pendapatan dari bea cukai di wilayah yang mereka kuasai. Bersama perusahaan minyak AS, mereka melakukan ekspor ke LN. Pola ini memperlihatkan kontrol ekonomi yang menyerupai pemerintah regional independen.
Di Yaman, baik kelompok Houthi maupun Southern Transitional Council (STC) menggunakan pendekatan serupa. Mereka menguasai provinsi selatan termasuk Aden dan Lahij. STC mengelola pelabuhan strategis dan bandara, memastikan arus barang dan transportasi tetap mengalir untuk mendukung ekonomi lokal mereka.
Operator telekomunikasi di wilayah STC bekerja dengan izin lokal. Sementara operator nasional tetap dominan, STC mengawasi distribusi layanan untuk menjamin kontrol administratif. Infrastruktur internet dan telekomunikasi menjadi sarana bagi STC untuk memperkuat otoritasnya. STC juga mendapat dukungan finansial dari UEA.
Milisi Al Hajri di Suwaida, Suriah, menggunakan strategi ekonomi mikro untuk mempertahankan kekuatan lokal. Mereka mengontrol sebagian wilayah pedesaan dan sumber daya agraris, mengatur distribusi produk pertanian, dan memanfaatkan pungutan lokal sebagai sumber pendanaan, selain bantuan keuangan dari Tel Aviv maupun komunitas Druze Israel. Milisi Al Hajri merupakan pendukung utama proyek neo kolonialisme Greater Israel untuk mengobok-obok Suriah dan negara-negara Arab demi hegemoni Israel.
Selain itu, milisi Al Hajri melakukan pengawasan terhadap lalu lintas komersial kecil, memungut biaya keamanan, dan menegakkan regulasi informal. Meskipun berskala kecil, mekanisme ini memberi mereka otonomi finansial di tengah usaha mereka mendirikan negara de facto Jabal Bashan.
Di Sudan, pemerintahan RSF di Nyala menunjukkan contoh lain pengelolaan ekonomi ala “negara dalam negara” di luar kontrol Khartoum. Mereka memanfaatkan kontrol wilayah untuk mengelola perdagangan lokal, tambang, dan transportasi barang, terutama di pasar dan jalan utama.
RSF juga mengontrol sektor keamanan transportasi, termasuk pos-pos pemeriksaan dan jalur distribusi bahan bakar. Pendapatan dari pengawasan ini digunakan untuk mendanai operasi militer dan administrasi lokal tanpa campur tangan pemerintah pusat Sudan.
Kebijakan pengelolaan ekonomi oleh otoritas lokal ini memberi mereka kemandirian finansial. Sumber daya yang dikuasai, baik minyak, perdagangan, maupun infrastruktur, memungkinkan mereka mendukung struktur militer dan administrasi tanpa bergantung sepenuhnya pada pemerintah pusat.
Di wilayah SDF, kontrol atas produksi minyak menjadi faktor penting stabilitas ekonomi. Minyak tidak hanya untuk penjualan lokal tetapi juga untuk barter dan dukungan logistik, menjadikan sektor ini kunci bagi keberlangsungan otonomi mereka.
STC menggunakan pelabuhan Aden sebagai sumber utama pendapatan. Kontrol ini memberi mereka leverage politik dan ekonomi, sekaligus memudahkan pengaturan impor bahan pokok dan barang strategis yang mempengaruhi kehidupan warga.
Milisi Al Hajri mengutamakan pengelolaan sumber daya agraris dan pasar lokal. Kendali ini memungkinkan mereka membiayai operasi dan membangun loyalitas masyarakat melalui distribusi bantuan dan pengaturan harga lokal.
Pemerintahan RSF di Nyala memanfaatkan monopoli sektor transportasi dan perdagangan untuk mendanai operasi keamanan. Pengawasan terhadap jalur logistik menjadi instrumen politik dan ekonomi sekaligus, memperkuat kekuasaan mereka di wilayah.
Setiap otoritas lokal ini menunjukkan pola negara dalam negara: mengatur administrasi, kontrol ekonomi, dan keamanan wilayah. Pendekatan ini memungkinkan mereka mempertahankan otonomi bahkan di tengah konflik bersenjata dan kelemahan pemerintah pusat.
Koordinasi antara sektor ekonomi dan militer menjadi kunci. SDF, STC, Al Hajri, dan RSF memastikan bahwa pendapatan yang diperoleh dari sumber daya lokal langsung mendukung kemampuan pertahanan dan stabilitas internal.
Selain itu, sektor telekomunikasi di SDF dan STC memungkinkan komunikasi yang efektif antara pemerintah lokal dan warga. Hal ini juga berfungsi untuk memantau aktivitas ekonomi dan keamanan di wilayah masing-masing.
Pendekatan ini menciptakan sistem semi-otonom di berbagai wilayah konflik. Meskipun berada dalam negara yang sama, pengelolaan sumber daya lokal dan layanan publik menempatkan otoritas ini sebagai entitas hampir setara pemerintah.
Kesimpulannya, SDF di Suriah, STC di Yaman, milisi Al Hajri di Suwaida, dan RSF di Nyala menunjukkan kemampuan mengelola potensi ekonomi seperti negara dalam negara, melalui kontrol sektor minyak, perdagangan, agrikultur, telekomunikasi, pelabuhan, dan transportasi. Mekanisme ini menjaga otonomi dan kapasitas operasional mereka di tengah konflik dan tekanan eksternal.
0 comments:
Post a Comment