Monday, 29 December 2025

Rantis Fujairah dan Perang Bayangan Yaman


Pengiriman kendaraan lapis baja ringan atau rantis yang disebut berasal dari Fujairah, Uni Emirat Arab, menuju Mukalla di Hadramaut kembali membuka tabir konflik sunyi di Yaman selatan. Insiden pengeboman oleh Saudi terhadap kiriman tersebut tidak hanya memunculkan pertanyaan soal asal-usul rantis, tetapi juga menyingkap dinamika kekuasaan yang lebih dalam antara Saudi, UAE, Southern Transitional Council (STC), dan bahkan pemerintah yg diajui dunia; Presidential Leadership Council (PLC) Yaman sendiri.

Secara kasat mata, rantis yang terlihat di Mukalla bukanlah produk industri pertahanan besar milik negara UAE seperti NIMR atau EDGE Group. Bentuknya lebih menyerupai kendaraan sipil jenis SUV yang dimodifikasi secara sederhana dengan pelat baja sederhana. Hal ini mengindikasikan bahwa yang terlibat bukanlah jalur resmi negara-ke-negara, melainkan jaringan semi-swasta yang beroperasi di wilayah abu-abu hukum dan politik.

Fujairah dalam konteks ini kerap disalahartikan sebagai lokasi produksi. Padahal, pelabuhan Fujairah lebih tepat dipahami sebagai simpul logistik dan re-ekspor. Barang-barang yang dikirim dari sana sering kali hanya “berlabel” Fujairah, meski proses modifikasi atau perakitannya bisa terjadi di tempat lain, termasuk di Hadramaut sendiri atau emirate lain di UAE.

Di sisi lain, Saudi memilih langkah ekstrem dengan menghancurkan kiriman tersebut alih-alih menempuh jalur diplomatik resmi kepada Abu Dhabi. Keputusan ini mencerminkan strategi khas Riyadh dalam konflik Yaman, yakni menyampaikan pesan melalui tindakan militer terbatas tanpa mempermalukan sekutu secara terbuka. Bagi Saudi, nota diplomatik justru berisiko membuka konflik yang lebih luas dengan UAE.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah pemerintah UAE benar-benar tidak tahu soal kiriman ini. Dalam realitas politik Teluk, ketidaktahuan total hampir mustahil. Namun, ada perbedaan penting antara mengetahui secara umum dan memberi persetujuan resmi. Model “tahu tapi tidak menandatangani” menjadi pola yang berulang dalam konflik proksi.

Rantis-rantis ini diduga kuat ditujukan untuk memperkuat posisi STC di Hadramaut, wilayah yang selama ini relatif berada di luar kendali penuh mereka. Hadramaut memiliki arti strategis karena letaknya di timur Yaman, dekat dengan perbatasan Saudi, serta kekayaan sumber daya dan jalur logistiknya.

Di sinilah peran PLC menjadi menarik. Sebagai badan eksekutif resmi Yaman yang diakui internasional, PLC diisi oleh berbagai faksi, termasuk figur-figur yang dekat dengan Saudi dan juga pimpinan STC. Sangat mungkin bahwa PLC telah lama menyadari permainan logistik STC ini, namun memilih untuk tidak bereaksi keras.

PLC berada dalam posisi serba sulit. Menentang STC secara terbuka berisiko memicu konflik internal di wilayah selatan yang sudah rapuh. Sementara membiarkan manuver STC berarti menerima penggerusan otoritas negara secara perlahan. Dalam kondisi seperti ini, sikap diam sering kali menjadi pilihan paling realistis.

Beberapa pejabat dan anggota PLC bahkan diduga melihat penguatan STC sebagai fakta lapangan yang tak terhindarkan. Selama manuver itu tidak langsung mengancam posisi mereka atau memicu reaksi keras Saudi, permainan tersebut dibiarkan berlangsung di bawah radar.

Saudi sendiri tampaknya memahami sikap ambigu PLC ini. Dengan membom kiriman rantis di Mukalla, Riyadh mengirim sinyal bukan hanya kepada STC dan UAE, tetapi juga kepada sebagian pejabat PLC bahwa ada batas wilayah dan kapasitas militer yang tidak boleh dilampaui.

Langkah Saudi ini juga menunjukkan bahwa Hadramaut diperlakukan berbeda dibanding Aden. Jika Aden telah lama menjadi wilayah pengaruh kuat STC dengan restu diam-diam, Hadramaut masih dianggap sebagai zona penyangga strategis yang tidak boleh jatuh sepenuhnya ke tangan satu faksi.

Dalam konteks ini, rantis-rantis ringan justru menjadi simbol politik yang lebih besar daripada nilai militernya. Kendaraan tersebut tidak akan mengubah keseimbangan kekuatan secara drastis, tetapi kehadirannya menandakan niat konsolidasi dan ekspansi pengaruh.

Model pengadaan melalui jaringan semi-swasta memungkinkan semua pihak menjaga jarak resmi. UAE dapat menyangkal keterlibatan langsung, STC memperoleh alat kekuasaan, dan PLC dapat berpura-pura tidak mengetahui detail teknisnya.

Namun, strategi abu-abu ini memiliki batas. Ketika jalur logistik mulai menyentuh kepentingan vital Saudi, seperti Hadramaut dan Mahra, respons militer menjadi opsi yang dipilih untuk menghentikan eskalasi tanpa perlu perdebatan publik.

Bagi sebagian anggota PLC, insiden ini menjadi pengingat bahwa ruang manuver mereka semakin sempit. Mereka bukan hanya harus menyeimbangkan kepentingan internal Yaman, tetapi juga sensitivitas dua kekuatan besar pendukungnya, Saudi dan UAE, yang kini tidak selalu sejalan.

Dalam jangka panjang, permainan semacam ini berpotensi memperlemah struktur negara Yaman itu sendiri. Ketika kendaraan, senjata, dan logistik mengalir melalui jalur tidak resmi, legitimasi institusi formal semakin tergerus.

Rantis dari Fujairah, entah dirakit di UAE atau Hadramaut, pada akhirnya hanyalah satu episode dari konflik bayangan yang lebih luas. Konflik ini tidak selalu terlihat di medan tempur besar, tetapi berlangsung melalui pelabuhan, bengkel, dan keputusan diam-diam.

Selama perang Yaman masih ditandai oleh fragmentasi kekuasaan, pola seperti ini kemungkinan akan terus berulang. Semua pihak tahu, sebagian pura-pura tidak tahu, dan hanya sesekali tindakan keras muncul untuk mengingatkan batas.

Dengan demikian, bukan mustahil bahwa PLC telah lama memahami permainan STC ini. Namun seperti banyak aktor lain dalam konflik Yaman, mereka memilih hidup dengan ambigu, karena di medan perang politik selatan Yaman, kejelasan sering kali justru menjadi sumber bahaya.

0 comments:

Post a Comment