Thursday, 25 December 2025

Rekonstruksi Suriah, Antara Titik Nol dan Stagnasi

Kota-kota yang hancur akibat perang sering kali dipersepsikan sebagai ruang mati yang membutuhkan waktu puluhan tahun untuk bangkit. Namun realitas di sejumlah kawasan konflik menunjukkan pola yang berbeda. Beberapa wilayah yang luluh lantak justru mampu pulih lebih cepat dibandingkan daerah yang relatif aman dari kehancuran fisik, tetapi terjebak dalam stagnasi sosial dan ekonomi berkepanjangan.

Fenomena ini terlihat jelas di Timur Tengah dalam satu dekade terakhir. Kota seperti Raqqa di Suriah, yang pernah menjadi simbol perlawanan dan hancur hampir total, menunjukkan laju pemulihan yang mengejutkan. Di sisi lain, wilayah seperti Hadramaut di Yaman, yang relatif terhindar dari kehancuran masif, justru bergerak lambat dan tampak membeku dalam ketidakpastian.

Para pengamat menyebut kehancuran total sebagai “titik nol”, sebuah kondisi ekstrem yang memaksa perubahan menyeluruh. Ketika struktur lama runtuh akibat perang, relasi kuasa, kepemilikan, dan hierarki sosial ikut terguncang. Dari reruntuhan itulah muncul ruang bagi tatanan baru untuk dibangun, sering kali dengan cara yang lebih pragmatis.

Sebaliknya, daerah yang tidak hancur sering kali terjebak dalam apa yang disebut jebakan stagnasi. Struktur lama tetap bertahan, elite lama tidak tergeser, dan birokrasi berjalan seperti sebelum konflik, meski tanpa daya dorong pembangunan. Stabilitas semu ini justru menghambat pembaruan.

Di wilayah pascaperang besar, otoritas baru biasanya memiliki kebutuhan mendesak untuk memperoleh legitimasi. Pembangunan infrastruktur dasar, pemulihan layanan publik, dan pembukaan ruang ekonomi menjadi alat politik untuk menunjukkan bahwa kekuasaan baru membawa perubahan nyata bagi warga.

Raqqa menjadi contoh yang sering dikutip. Setelah dikuasai SDF, kota ini dikelola oleh otoritas lokal yang relatif otonom dengan dukungan luar terbatas. Alih-alih menunggu bantuan besar dari pusat, masyarakat setempat terdorong membangun kembali rumah, pasar, dan usaha secara mandiri.

Sementara itu, wilayah seperti Hadramaut di Yaman berada dalam situasi yang berbeda. Tidak ada satu otoritas tunggal yang benar-benar dominan dan merasa bertanggung jawab penuh atas pembangunan. Kondisi ini menciptakan zona abu-abu kekuasaan, di mana tidak ada pihak yang cukup kuat atau cukup terdesak untuk mendorong perubahan struktural.

Ketidakpastian politik ini berdampak langsung pada ekonomi. Investor lokal maupun diaspora cenderung menahan modal karena tidak ada jaminan hukum dan arah kebijakan yang jelas. Akibatnya, aktivitas ekonomi bergerak di tempat meski potensi sumber daya dan modal sebenarnya besar.

Peran diaspora menjadi faktor pembeda lain. Di banyak kota pascaperang, kehancuran justru memicu kembalinya warga yang sebelumnya pergi. Mereka membawa modal, jaringan, dan keinginan untuk memulai dari awal. Energi kolektif ini sering menjadi mesin utama pemulihan.

Di Hadramaut, diaspora Hadrami dikenal luas memiliki kekuatan ekonomi global. Namun sebagian besar dana mereka tetap berada di luar negeri atau hanya mengalir dalam bentuk remitansi konsumtif, bukan investasi produktif. Ketiadaan momentum perubahan membuat modal tersebut enggan kembali.

Bantuan internasional juga memainkan peran politis. Wilayah yang hancur parah sering menjadi simbol penting bagi donor global. Rekonstruksi di sana dipandang sebagai cerita sukses yang dapat dipamerkan, sehingga lebih mudah menarik dana dan perhatian.

Sebaliknya, daerah yang relatif aman tetapi stagnan jarang masuk prioritas. Seperti kota lain yangs emoat dikuasai kembali oleh rejim Bashar Al Assad namun tak dibangun kembali sebagai hukuman. Tanpa gambar kehancuran dramatis atau narasi kebangkitan heroik, wilayah seperti Hadramaut kerap luput dari radar bantuan internasional, meski kebutuhan pembangunannya nyata.

Dari sisi sosial, masyarakat di daerah hancur perang sering mengalami trauma akut yang memicu solidaritas kuat. Kesadaran kolektif untuk bangkit bersama muncul karena tidak ada lagi yang bisa dipertahankan selain masa depan.

Di wilayah stagnan, yang muncul justru kelelahan kronis. Warga tidak hidup dalam kehancuran total, tetapi juga tidak melihat jalan keluar. Kehidupan berjalan dalam rutinitas yang aman namun tanpa harapan perubahan signifikan.

Kondisi ini membuat pembangunan berjalan setengah hati. Proyek kecil muncul, tetapi tidak terintegrasi dalam visi besar. Negara, elite lokal, dan aktor luar bergerak dengan kepentingan masing-masing tanpa arah bersama.

Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa kehancuran tidak selalu menjadi akhir. Dalam kondisi tertentu, perang justru membuka ruang bagi pembaruan yang sebelumnya mustahil dilakukan secara damai. Titik nol menciptakan peluang yang keras, tetapi nyata.

Sebaliknya, stabilitas tanpa reformasi bisa menjadi beban jangka panjang. Tanpa guncangan yang memaksa perubahan, struktur lama terus bertahan meski sudah tidak produktif. Inilah inti dari jebakan stagnasi.

Perbandingan ini memberi pelajaran penting bagi wilayah konflik dan pascakonflik. Pemulihan bukan hanya soal seberapa parah kehancuran, tetapi tentang bagaimana kekuasaan, legitimasi, dan insentif ekonomi dibentuk setelahnya.

Tanpa kepemimpinan yang merasa wajib membangun, stabilitas berubah menjadi penundaan. Tanpa titik nol, perubahan sering kali hanya menjadi wacana.

Di tengah dinamika ini, masa depan wilayah seperti Hadramaut bergantung pada kemampuannya menciptakan dorongan perubahan tanpa harus mengalami kehancuran total. Pertanyaannya bukan lagi apakah perang mempercepat pemulihan, tetapi apakah stagnasi bisa dipatahkan tanpa perang.

Tantangan 

Suriah, Yaman, dan Sudan menghadapi tantangan yang serupa meskipun konteks konfliknya berbeda, yakni terjebak dalam logika stagnasi yang membuat perang seolah berhenti, tetapi pemulihan tidak pernah benar-benar dimulai. Jalan keluar dari kondisi ini menuntut keberanian politik untuk mengakhiri zona abu-abu kekuasaan dan menciptakan otoritas yang jelas, meskipun belum sempurna. Tanpa kejelasan siapa yang bertanggung jawab atas rekonstruksi, setiap bantuan, investasi, dan inisiatif masyarakat akan terus terfragmentasi dan kehilangan arah.

Langkah pertama untuk keluar dari stagnasi adalah menciptakan titik nol politik yang disepakati, bukan melalui kehancuran baru, melainkan lewat kesepakatan transisi yang memutus praktik lama. Di Suriah, Yaman, dan Sudan, ini berarti membekukan struktur kekuasaan yang tidak lagi fungsional, menangguhkan hukum properti dan ekonomi yang bersifat menghukum, serta membuka ruang bagi pemerintahan transisi yang berfokus pada pemulihan sipil, bukan dominasi militer.

Rekonstruksi harus dimulai dari bawah dengan memberi kepercayaan penuh kepada komunitas lokal. Pengalaman berbagai wilayah pascaperang menunjukkan bahwa masyarakat yang diberi kewenangan mengelola tanah, pasar, dan layanan dasar mampu bergerak lebih cepat dibanding menunggu negara pusat. Negara berperan sebagai penjamin hukum dan keamanan minimal, sementara inisiatif pembangunan didorong oleh warga, koperasi lokal, dan pelaku usaha kecil yang paling memahami kebutuhan lapangan.

Peran diaspora perlu diubah dari sumber remitansi konsumtif menjadi motor investasi produktif. Suriah, Yaman, dan Sudan memiliki diaspora besar dengan modal finansial dan pengetahuan internasional, tetapi mereka membutuhkan jaminan kepemilikan, mekanisme investasi sederhana, dan perlindungan hukum yang kredibel. Tanpa insentif dan kepastian ini, modal diaspora akan terus mengalir keluar, memperpanjang stagnasi ekonomi.

Terakhir, komunitas internasional harus menggeser pendekatan dari bantuan darurat tanpa akhir menuju rekonstruksi berbasis legitimasi. Bantuan seharusnya dikaitkan dengan reformasi tata kelola lokal, transparansi, dan hasil nyata di tingkat masyarakat, bukan sekadar pengakuan terhadap elite bersenjata. Hanya dengan kombinasi titik nol politik, pemberdayaan lokal, mobilisasi diaspora, dan dukungan internasional yang terarah, Suriah, Yaman, dan Sudan dapat keluar dari stagnasi dan memulai rekonstruksi yang sungguh-sungguh.

0 comments:

Post a Comment