Wednesday, 31 December 2025

Somaliland, Rencana Lama Yahudi dan Kekayaan Migas


Pengakuan internasional terhadap Somaliland kembali menjadi topik hangat setelah muncul klaim bahwa Somalia menemukan cadangan minyak dan gas senilai sekitar 2 triliun dolar AS. Pernyataan Presiden Somalia itu segera memantik spekulasi geopolitik, terutama terkait posisi Somaliland yang selama ini berstatus negara de facto tanpa pengakuan resmi global.

Dalam konteks ini, sebagian analis menilai pengakuan terhadap Somaliland “kini terasa lebih masuk akal”. Wilayah yang relatif stabil dibandingkan Somalia selatan itu dinilai berada di persimpangan strategis antara potensi sumber daya alam, jalur pelayaran Laut Merah, dan rivalitas kekuatan regional.

Narasi tersebut menjadi semakin menarik ketika dikaitkan dengan dokumen sejarah yang kembali beredar. Sebuah proposal era Perang Dunia II mengungkap bahwa wilayah Somaliland Britania dan Harrar di Ethiopia pernah diusulkan sebagai lokasi pembentukan provinsi otonom Yahudi.

Dokumen itu disusun oleh Council for an Autonomous Jewish Province in Harrar, sebuah organisasi berbasis di Amerika Serikat pada periode 1943–1944. Tujuannya adalah mencari solusi alternatif bagi pengungsi Yahudi Eropa, di luar Palestina yang saat itu dinilai terlalu sempit dan sarat konflik politik.

Dalam proposal tersebut, wilayah Harrar di Ethiopia direncanakan digabungkan dengan sebagian British Somaliland. Luas total wilayah yang diusulkan mencapai sekitar 60.000 hingga 70.000 mil persegi, dengan argumen bahwa populasi pertaniannya masih kecil dan relatif mudah diintegrasikan.



Para pengusul menilai dataran tinggi Ethiopia memiliki iklim yang sehat dan cocok bagi pemukim Eropa. Sementara itu, wilayah pesisir Somalia yang dianggap kurang sehat diyakini dapat diperbaiki melalui pembangunan irigasi dan infrastruktur modern.

Potensi ekonomi menjadi salah satu pilar utama proposal tersebut. Harrar digambarkan sebagai wilayah subur yang ideal untuk pertanian skala besar dan imigrasi massal, dengan akses pasar yang luas ke pedalaman Afrika, negara-negara Arab, hingga sebagian India.

Dari sisi politik, dokumen itu merujuk pada preseden tahun 1935 ketika pemerintah Inggris sempat mengusulkan pemberian pelabuhan Zeila kepada Kaisar Ethiopia. Berdasarkan logika itu, penulis proposal beranggapan Inggris mungkin bersedia menyerahkan wilayah Somaliland yang lebih luas, termasuk pelabuhan strategis Berbera.

Di bagian lain, proposal tersebut mengangkat narasi simbolik tentang Kaisar Ethiopia Haile Selassie. Ia digambarkan sebagai keturunan Raja Daud dari Dinasti Solomon dan pemegang gelar “Lion of Judah”, yang dijadikan alasan moral agar Ethiopia membantu “saudara tiri” Yahudi dari Eropa.

Tokoh-tokoh seperti Erwin Kraft dan Hermann Fuernberg tercatat sebagai penandatangan utama dokumen tersebut, dengan Marie Syrkin disebut sebagai pendukung intelektual. Mereka aktif melobi pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Franklin D. Roosevelt serta otoritas Ethiopia.

Namun rencana itu pada akhirnya kandas. Minimnya dukungan internasional dan fokus gerakan Zionis yang tetap terpusat pada Palestina membuat proposal Harrar–Somaliland tersisih dari agenda global pascaperang.

Meski gagal terwujud, dokumen ini menunjukkan bahwa Somaliland sejak lama dipandang sebagai wilayah bernilai strategis. Letaknya yang menghadap Teluk Aden dan dekat dengan jalur perdagangan utama menjadikannya aset geopolitik yang terus diperebutkan dalam berbagai skenario sejarah.

Klaim terbaru tentang cadangan minyak dan gas Somalia memperkuat persepsi tersebut. Jika potensi energi sebesar itu benar-benar ada, maka dinamika politik di Tanduk Afrika akan berubah drastis, termasuk hubungan antara Mogadishu dan Hargeisa.

Somaliland selama ini menegaskan bahwa ia berpisah dari Somalia bukan semata soal politik, melainkan juga tentang stabilitas dan tata kelola. Klaim sumber daya raksasa di Somalia justru dapat memperlebar jurang kepentingan antara kedua pihak.

Bagi sebagian kalangan, pengakuan internasional terhadap Somaliland akan memberi kepastian hukum bagi investasi dan eksploitasi sumber daya di kawasan tersebut. Tanpa pengakuan, risiko politik dinilai terlalu tinggi bagi banyak investor global.

Di sisi lain, pemerintah Somalia memandang pengakuan Somaliland sebagai ancaman langsung terhadap kedaulatan nasional. Klaim minyak dan gas bernilai triliunan dolar membuat posisi ini semakin keras dan emosional.

Sejarah proposal Harrar–Somaliland menunjukkan bahwa wilayah ini sejak lama diproyeksikan sebagai solusi strategis atas krisis global, mulai dari pengungsi hingga ekonomi. Kini, narasi itu kembali muncul dalam bentuk yang berbeda, yakni energi dan pengakuan negara.

Perbedaan utama terletak pada aktor dan kepentingan. Jika dulu melibatkan lobi diaspora Yahudi dan kekuatan kolonial, kini isu ini diperebutkan oleh negara, perusahaan energi, dan kekuatan regional Timur Tengah.

Stabilitas relatif Somaliland membuatnya sering dibandingkan dengan Somalia selatan yang masih dilanda konflik. Faktor inilah yang kerap dijadikan argumen bahwa pengakuan internasional bukan sekadar simbol, melainkan kebutuhan praktis.

Namun, pengakuan juga berpotensi membuka babak baru ketegangan di kawasan, terutama jika dikaitkan dengan pembagian sumber daya alam. Tanpa kerangka regional yang jelas, risiko konflik baru tetap membayangi.

Dengan latar sejarah panjang, klaim energi raksasa, dan dokumen-dokumen lama yang kembali mencuat, Somaliland kini berdiri di persimpangan penting. Apakah ia akan tetap menjadi negara de facto, atau melangkah menuju pengakuan penuh, akan sangat ditentukan oleh dinamika geopolitik dan ekonomi global ke depan.

Baca selanjutnya

0 comments:

Post a Comment